Selasa, 11 November 2014

Essai



Bahasa, Sastra dan Budaya Bukan Kemasan Cepat Saji (Instan)
(Nurul Hikmah)
Ada masalah terpendam  yang sebenarnya mengganggu pikiran saya terhadap kondisi aktual Indonesia saat ini. Diketahui bersama bahwa keberadaan suatu bangsa tidak terlepas dari unsur bahasa dan budaya serta perkembangan sastra. Bahkan, bangsa yang besar adalah bangsa yang kaya akan keragaman budaya dan menghormati bahasa serta menghargai keberadaan sastra yang menyertainya. Semuanya saling berkaitan, budaya mempengaruhi bahasa, bahasa mempengaruhi sastra, sastra mempengaruhi  budaya, pun sebaliknya. Keterikatan antara ketiganya bisa dikatakan berputar-putar di satu poros yang sama bahwa ketiganya saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Kemudian, manakah dari ketiganya yang paling mempengaruhi? Jawabannya bisa jadi tidak ada. Kedudukannya sama (equal) atau seimbang (balanced). Sama-sama paling memengaruhi (in fluence) dan sama-sama penting (important) keberadaannya. Pusat permasalahannya adalah bagaimana pendidikan mampu mengemas ketiga unsur ini menjadi sebuah kemasan menarik sebagai proses pembelajaran?
Diketahui bersama bahwa pendidikan merupakan elemen paling penting bagi suatu bangsa dalam membangun peradaban. Hal ini dibuktikan bagaimana sejarah bangsa Yunani  telah menjadi kiblat peradaban di zaman kuno berkat Institut Akademia yang dicetuskan oleh Plato. Begitu pula peradaban Islam pernah mengalami titik puncak pada masa dinasti Abbasiyah dikarenakan adanya Baitul Hikmah sebagai pusat kegiatan intelektual. Dan, dari era Renaissance sampai sekarang. Barat telah menjadi kiblat peradaban dunia berkat universitas-universitas terkemuka seperti: Oxford, Harvard dan Sorbonne. Kemudian sejauh mana pendidikan di Indonesia mampu mengepakkan sayapnya di antara tantangan global yang kian menggerus budaya, bahasa maupun sastra dari setiap penjuru? Bagaimana sebuah bangsa mampu mempertahankan idealisme negara di saat semrawutnya pendidikan, gonjang-ganjing terkikisnya budaya asli bangsa, serta remehnya nilai sastra yang ada saat ini?. Hal ini terlihat nyata. Kebudayaan yang hampir disabet negara tetangga. Maraknya bahasa yang melegalkan diri sebagai bahasa gaul (associate) dengan menambahkan istilah –sasi di belakang nama pencetusnya seperti yang pernah marak di dengar yaitu Vickynisasi, mungkin akan muncul istilah –sasi yang lainnya. Wallâhu a’lam bi al-shawâb. Nilai jual buku-buku pendidikan umum dihargai lebih tinggi dari pada hasil karya sastra. Walhasil bangsa tak kunjung menjadi pintar. Sungguh bangsa yang dilematis.
Paradoks berbahasa:dilema budaya
Bahasa Indonesia telah diikrarkan keberadaannya sejak 28 Oktober 1928 tahun silam oleh para pemuda bangsa. Perannya telah di ucapkan dalam ikrar (declaration) ketiga Sumpah Pemuda, yang berbunyi: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Dari beratus-ratus bahasa Nusantara yang memiliki peran sebagai bahasa ibu bagi penuturnya. Bahasa Indonesia telah mendengung paling nyaring di setiap penjuru sebagai bahasa pemersatu bangsa Indonesia.
Bagaimana mungkin pemuda berani mengingkari ikrarnya sendiri? Seperti yang sudah disinggung di atas, pemuda kini malas menggaungkan bahasa Indonesia, bahkan jika ada yang berbicara bahasa Indonesia dengan baik dan benar atau baku dianggap sebagai orang yang kuno (antiquity) dan terlampau serius (serious) seperti hendak berpidato saja atau di ejek tidak menghargai bahasa daerah . Ini nyata saya alami sendiri, ketika di bangku sekolah menengah pertama sebagian teman-teman saya menggunakan bahasa daerah yakni bahasa Sunda ketika di sekolah bahkan di ruang belajar, demikian halnya beberapa guru mencampur bahasa daerah dengan bahasa Indonesia saat mengajar. Sebagai pribadi yang terbiasa menggunakan bahasa Indonesia, saya sering di olok-olok teman dikatakannya saya “sok Indonesia”, “tidak cinta bahasa daerah”. Tidak hanya itu, semasa duduk di bangku sekolah menengah akhir pun ada salah satu guru yang mengajar dengan selalu menggunakan bahasa daerah yakni bahasa Jawa. Lain halnya saat ini, bahasa Indonesia telah menjadi tren. Bahkan di perkampungan saat ini anak-anak sudah diajarkan bahasa Indonesia bahkan sejak ia mulai bisa berbicara tanpa pernah mengenal bahasa ibu atau bahasa daerahnya sendiri. Ini bisa saya rasakan pada adik saya yang kini usianya sekitar lima tahun, sejak bayi ia selalu diajak berbicara bahasa Indonesia, meski sebenarnya saya dan kedua orang tua setiap hari menggunakan bahasa Sunda sebagai alat komunikasi, tapi entah mengapa tiba-tiba adik saya sama sekali tidak bisa berbahasa daerah, alasannya cukup sederhana karena teman sepermainannya juga menggunakan bahasa Indonesia.
Paradoks apa yang terjadi dari peristiwa yang terjadi di sekitar saya bahkan mungkin sekitar kita saat ini? Apa kita harus setuju yang pertama atau kedua? Nyata keduanya memiliki kontras. Apakah bahasa Daerah lebih utama atau bahasa Indonesia lebih utama? Jelas keduanya utama bagi saya, bisa jadi bagi bangsa. Bahasa Indonesia utama karena telah menjadi ikrar bangsa. bahasa Daerah pun demikian, karena bangsa kita tidak akan dianggap bangsa majemuk yang kaya budaya, jika tidak kaya dengan bahasa Nusantara. Jelas, bahwa penempatan pengucapannya saja yang disesuaikan dan dimaklumi bersama. Dan ini pula yang menjadi tugas utama pendidik bagaimana menanamkan pentingnya bahasa sebagai kesadaran bernegara. Saya cukup mengapresiasi masih adanya mata pelajaran Mulok (Muatan Lokal) di sekolah sebagai upaya memperkenalkan bahasa ibu dan melestarikannya dalam sisi sejarah kebudayaan bangsa.
Namun, masih ada masalah yang sulit dibendung. Bahwa bangsa tidak diam di tempat selalu ada perubahan yang membawa pengaruh positif bahkan negatif bagi bahasa dan budaya. Tentu pengaruh positif kita amini bersama sedang pengaruh negatif harus dituntaskan bersama pula. Hal yang tidak bisa dituntaskan dengan instan  ketika sudah menjamur di ladang sendiri. seperti istilah –sasi yang saya singgung di awal, bahkan permasalahannya lebih semrawut dari itu. Budaya tak lagi diindahkan. Bahasa Indonesia yang semestinya tidak lagi berada di tempatnya.
Di mana letak Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia?
Kerap kali saya mengeluh, mengapa orang masih saja menganggap enteng pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, dianggapnya mudah. Namun alhasil dalam UN (Ujian Nasional) tak pernah mendapat pencapaian sempurna pada mata pelajaran bahasa Indonesia, padahal setiap hari berbahasa Indonesia. Komentarnya “susah-susah gampang”. Kemudian timbul pertanyaan, yang benar itu susah atau gampang (mudah)? Bahkan terkadang ada komentar yang menyatakan “Untuk apa mengambil jurusan bahasa Indonesia, bukankah kita setiap hari berbicara bahasa Indonesia?”.
Mengawali pendidikan di bangku kuliah dengan mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia adalah sebuah keniscayaan bahwa saya berada di jalur yang tepat. Saya melakukan riset kecil-kecilan, bertanya kepada teman-teman sekelas, apakah mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia adalah prioritas utama?. Walhasil jawabannya hampir serupa hanya alasannya saja bervariasi. Dapat saya simpulkan delapan dari sepuluh orang menyatakan bahwa bukanlah prioritas utama melainkan jalan tengah atau jalan terakhir yang tersisa atau kebetulan semata. Sungguh miris saya mendengarnya, ironi nyata yang jelas di depan mata. Jika saja niat itu di awali dari sebuah kebetulan bahkan sebuah jalan akhir, maka akan adakah ketulusan dalam mempelajarinya? Sedangkan belajar bukanlah sesuatu hal yang bisa dilakukan dengan instan. Bagaimana kelanjutan pendidikan di negara ini? Akan dibawa ke mana anak bangsa sebagai generasi yang akan melanjutkan estafet perjuangan bangsa?. Maka keputusan yang seharusnya di tetapkan saat ini adalah menempatkan kedudukan mempelajari bahasa dan sastra Indonesia dengan langkah yang mantap, bahwa hal itu dapat membangun bangsa yang kuat, kuat berbahasa dan kuat berbudaya. Karena kita bangsa yang besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biografi, Sinopsis dan Unsur Intrinsik "Kalau Tak Untung" Karya Selasih

BiBiografi Tokoh "Selasih" Hj. Sariamin Ismail selain dikenal sebagai seorang sastrawan juga merupakan salah seorang tokoh dan ...