Bahasa, Sastra dan Budaya Bukan Kemasan Cepat Saji (Instan)
(Nurul Hikmah)
Ada masalah terpendam yang
sebenarnya mengganggu pikiran saya terhadap kondisi aktual Indonesia saat ini.
Diketahui bersama bahwa keberadaan suatu bangsa tidak terlepas dari unsur
bahasa dan budaya serta perkembangan sastra. Bahkan, bangsa yang besar adalah
bangsa yang kaya akan keragaman budaya dan menghormati bahasa serta menghargai
keberadaan sastra yang menyertainya. Semuanya saling berkaitan, budaya
mempengaruhi bahasa, bahasa mempengaruhi sastra, sastra mempengaruhi budaya, pun sebaliknya. Keterikatan antara
ketiganya bisa dikatakan berputar-putar di satu poros yang sama bahwa ketiganya
saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Kemudian, manakah dari ketiganya yang
paling mempengaruhi? Jawabannya bisa jadi tidak ada. Kedudukannya sama (equal)
atau seimbang (balanced). Sama-sama paling memengaruhi (in fluence) dan
sama-sama penting (important) keberadaannya. Pusat permasalahannya
adalah bagaimana pendidikan mampu mengemas ketiga unsur ini menjadi sebuah kemasan
menarik sebagai proses pembelajaran?
Diketahui bersama bahwa pendidikan merupakan elemen paling penting
bagi suatu bangsa dalam membangun peradaban. Hal ini dibuktikan bagaimana
sejarah bangsa Yunani telah menjadi
kiblat peradaban di zaman kuno berkat Institut Akademia yang dicetuskan
oleh Plato. Begitu pula peradaban Islam pernah mengalami titik puncak pada masa
dinasti Abbasiyah dikarenakan adanya Baitul Hikmah sebagai pusat
kegiatan intelektual. Dan, dari era Renaissance sampai sekarang. Barat
telah menjadi kiblat peradaban dunia berkat universitas-universitas terkemuka
seperti: Oxford, Harvard dan Sorbonne. Kemudian sejauh
mana pendidikan di Indonesia mampu mengepakkan sayapnya di antara tantangan
global yang kian menggerus budaya, bahasa maupun sastra dari setiap penjuru?
Bagaimana sebuah bangsa mampu mempertahankan idealisme negara di saat semrawutnya
pendidikan, gonjang-ganjing terkikisnya budaya asli bangsa, serta remehnya nilai
sastra yang ada saat ini?. Hal ini terlihat nyata. Kebudayaan yang hampir
disabet negara tetangga. Maraknya bahasa yang melegalkan diri sebagai bahasa
gaul (associate) dengan menambahkan istilah –sasi di belakang
nama pencetusnya seperti yang pernah marak di dengar yaitu Vickynisasi,
mungkin akan muncul istilah –sasi yang lainnya. Wallâhu a’lam bi
al-shawâb. Nilai jual buku-buku pendidikan umum dihargai lebih tinggi dari pada
hasil karya sastra. Walhasil bangsa tak kunjung menjadi pintar. Sungguh bangsa
yang dilematis.
Paradoks berbahasa:dilema budaya
Bahasa Indonesia telah diikrarkan keberadaannya sejak 28 Oktober
1928 tahun silam oleh para pemuda bangsa. Perannya telah di ucapkan dalam ikrar
(declaration) ketiga Sumpah Pemuda, yang berbunyi: “Kami putra dan putri
Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Dari beratus-ratus
bahasa Nusantara yang memiliki peran sebagai bahasa ibu bagi penuturnya. Bahasa
Indonesia telah mendengung paling nyaring di setiap penjuru sebagai bahasa
pemersatu bangsa Indonesia.
Bagaimana mungkin pemuda berani mengingkari ikrarnya sendiri?
Seperti yang sudah disinggung di atas, pemuda kini malas menggaungkan bahasa
Indonesia, bahkan jika ada yang berbicara bahasa Indonesia dengan baik dan
benar atau baku dianggap sebagai orang yang kuno (antiquity) dan
terlampau serius (serious) seperti hendak berpidato saja atau di ejek
tidak menghargai bahasa daerah . Ini nyata saya alami sendiri, ketika di bangku
sekolah menengah pertama sebagian teman-teman saya menggunakan bahasa daerah
yakni bahasa Sunda ketika di sekolah bahkan di ruang belajar, demikian halnya
beberapa guru mencampur bahasa daerah dengan bahasa Indonesia saat mengajar.
Sebagai pribadi yang terbiasa menggunakan bahasa Indonesia, saya sering di
olok-olok teman dikatakannya saya “sok Indonesia”, “tidak cinta bahasa daerah”.
Tidak hanya itu, semasa duduk di bangku sekolah menengah akhir pun ada salah
satu guru yang mengajar dengan selalu menggunakan bahasa daerah yakni bahasa
Jawa. Lain halnya saat ini, bahasa Indonesia telah menjadi tren. Bahkan di
perkampungan saat ini anak-anak sudah diajarkan bahasa Indonesia bahkan sejak
ia mulai bisa berbicara tanpa pernah mengenal bahasa ibu atau bahasa daerahnya
sendiri. Ini bisa saya rasakan pada adik saya yang kini usianya sekitar lima
tahun, sejak bayi ia selalu diajak berbicara bahasa Indonesia, meski sebenarnya
saya dan kedua orang tua setiap hari menggunakan bahasa Sunda sebagai alat
komunikasi, tapi entah mengapa tiba-tiba adik saya sama sekali tidak bisa
berbahasa daerah, alasannya cukup sederhana karena teman sepermainannya juga
menggunakan bahasa Indonesia.
Paradoks apa yang terjadi dari peristiwa yang terjadi di sekitar
saya bahkan mungkin sekitar kita saat ini? Apa kita harus setuju yang pertama
atau kedua? Nyata keduanya memiliki kontras. Apakah bahasa Daerah lebih utama
atau bahasa Indonesia lebih utama? Jelas keduanya utama bagi saya, bisa jadi
bagi bangsa. Bahasa Indonesia utama karena telah menjadi ikrar bangsa. bahasa
Daerah pun demikian, karena bangsa kita tidak akan dianggap bangsa majemuk yang
kaya budaya, jika tidak kaya dengan bahasa Nusantara. Jelas, bahwa penempatan pengucapannya
saja yang disesuaikan dan dimaklumi bersama. Dan ini pula yang menjadi tugas
utama pendidik bagaimana menanamkan pentingnya bahasa sebagai kesadaran
bernegara. Saya cukup mengapresiasi masih adanya mata pelajaran Mulok (Muatan
Lokal) di sekolah sebagai upaya memperkenalkan bahasa ibu dan melestarikannya
dalam sisi sejarah kebudayaan bangsa.
Namun, masih ada masalah yang sulit dibendung. Bahwa bangsa tidak
diam di tempat selalu ada perubahan yang membawa pengaruh positif bahkan
negatif bagi bahasa dan budaya. Tentu pengaruh positif kita amini bersama sedang
pengaruh negatif harus dituntaskan bersama pula. Hal yang tidak bisa
dituntaskan dengan instan ketika
sudah menjamur di ladang sendiri. seperti istilah –sasi yang saya
singgung di awal, bahkan permasalahannya lebih semrawut dari itu. Budaya tak
lagi diindahkan. Bahasa Indonesia yang semestinya tidak lagi berada di tempatnya.
Di mana letak Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia?
Kerap kali saya mengeluh, mengapa orang masih saja menganggap
enteng pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, dianggapnya mudah. Namun
alhasil dalam UN (Ujian Nasional) tak pernah mendapat pencapaian sempurna pada
mata pelajaran bahasa Indonesia, padahal setiap hari berbahasa Indonesia.
Komentarnya “susah-susah gampang”. Kemudian timbul pertanyaan, yang benar itu
susah atau gampang (mudah)? Bahkan terkadang ada komentar yang menyatakan
“Untuk apa mengambil jurusan bahasa Indonesia, bukankah kita setiap hari
berbicara bahasa Indonesia?”.
Mengawali pendidikan di bangku kuliah dengan mengambil jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia adalah sebuah keniscayaan bahwa saya berada di
jalur yang tepat. Saya melakukan riset kecil-kecilan, bertanya kepada
teman-teman sekelas, apakah mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia adalah prioritas utama?. Walhasil jawabannya hampir serupa hanya
alasannya saja bervariasi. Dapat saya simpulkan delapan dari sepuluh orang
menyatakan bahwa bukanlah prioritas utama melainkan jalan tengah atau jalan
terakhir yang tersisa atau kebetulan semata. Sungguh miris saya mendengarnya,
ironi nyata yang jelas di depan mata. Jika saja niat itu di awali dari sebuah
kebetulan bahkan sebuah jalan akhir, maka akan adakah ketulusan dalam
mempelajarinya? Sedangkan belajar bukanlah sesuatu hal yang bisa dilakukan
dengan instan. Bagaimana kelanjutan pendidikan di negara ini? Akan
dibawa ke mana anak bangsa sebagai generasi yang akan melanjutkan estafet
perjuangan bangsa?. Maka keputusan yang seharusnya di tetapkan saat ini adalah
menempatkan kedudukan mempelajari bahasa dan sastra Indonesia dengan langkah
yang mantap, bahwa hal itu dapat membangun bangsa yang kuat, kuat berbahasa dan
kuat berbudaya. Karena kita bangsa yang besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar