PENDEKATAN
EKSPRESIF DALAM KUMPULAN CERPEN
TIGA
KOTA KARYA NUGROHO NOTOSUSANTO
Pendahuluan
Pada
mulanya...
Memenuhi
tugas analisis yang dilatarbelakangi oleh pengerjaan tugas kelompok dan
penyusunan kliping sejarah dan karya sastra pada tahun 1961-1971, mengiringi
langkah saya untuk menelusuri sejumlah karya dan pengarang yang terlibat di
tahun tersebut. Dari sekian banyak sastrawan dan karyanya, khususnya periode
tahun 1961-1971 yang ditulis dalam buku “Sejarah Sastra Indonesia” karangan Rosida
Erowati dan Ahmad Bahtiar yang tidak lain adalah dosen “Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”,
yakni tempat saya kini menempuh pendidikan.
Beberapa
sastrawan yang tertulis di buku
tersebut. Di antaranya, W.S Rendra, Toto Sudarto Bachtiar, Nugroho
Notosusanto, Ramadhan K.H, Trisnoyuwono, Toha Muchtar, B.Sulastro dan Subagyo
Sastrowardoyo. Setelah berupaya
luar biasa mencari karya-karya yang ditulis pada tahun 1961-1971, beberapa
kendala pun dijumpai karena karya-karya di tahun tersebut selain sudah tidak
diproduksi dan memang sudah hampir tidak ada lagi, mungkin hanya ada di
beberapa toko buku lama yang keberadaannya terbatas. Akhirnya setelah kesulitan
ternyata ada kemudahan, saya pun berhasil menemukan satu nama yaitu “Nugroho
Notosusanto” dengan karyanya “Tiga Kota”. Saya sangat senang dan lega akhirnya
bisa menemukan karya tersebut, terlebih setelah menunggu beberapa hari memesan
pada sebuah toko buku di daerah Pasar Senen.
Alangkah
minimnya pengetahuan saya tentang para sastrawan di masa lalu, nama Nugroho
Notosusanto pun tidak saya kenali sebelumnya, akhirnya sumber satu-satunya yang
bisa menjawab karena ketiadaan buku biografi pengarang adalah melalui internet.
Nama
Nugroho Notosusanto pun muncul berderet dengan sejumlah karya dan prestasi yang
saya terbelalak olehnya. Bagaimana mungkin seorang yang begitu ternama di
negeri ini saya tidak ketahui sebelumnya.
Selain
sebagai seorang sastrawan, sejarawan, dan pejuang kemerdekaan. Ternyata beliau
adalah seorang yang berpengaruh terhadap dunia pendidikan di negeri ini.
Karyanya
tersebar di berbagai majalah, termasuk kompas. Karyanya tersebut tidak hanya
berupa cerpen melainkan juga essai. Beliau juga merupakan penulis yang
produktif selain tulisannya tersebar di berbagai majalah juga dibukukan baik
itu kumpulan cerpen maupun buku-buku terjemahan.
Buku kumpulan cerpen Nugroho Notosusanto,
diantarnya:
· Hidjau Tanahku, Hidjau Badjuku. 1963. Jakarta: Balai
Pustaka
· Hudjan Kepagian. 1958. Jakarta: Balai Pustaka
· Rasa Sayange. 1961. Jakarta: Pembangunan
· Tiga Kota. 1959. Jakarta: Balai Pustaka
Saya
kagum dengan biografi beliau, karyanya dan juga kiprahnya baik dalam
kemiliteran maupun dunia pendidikan. Ada banyak yang harus diteladani oleh
pemuda bangsa atas karirnya dalam berbagai bidang. Peran pemikirannya dan tentu
inovasinya bagi pendidikan bangsa saat menjadi Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-1985).
Mungkin
ada hal yang disayangkan ketika berbagai kontroversi yang mengiringi perjalanannya
sebagai seorang sejarawan. Salah satu hal yang paling disorot adalah ketika
Nugroho dimanfaatkan oleh ABRI maupun Orde Baru untuk menulis sejarah menurut
versi pihak-pihak tersebut. Pada 1964 ABRI menggunakan Nugroho untuk menyusun
sejarah militer menurut versi militer karena khawatir bahwa sejarah yang akan
disusun oleh pihak Front Nasional yang dikenal sebagai kelompok kiri pada masa
itu akan menulis Peristiwa Madiun secara berbeda, sementara militer lebih suka
melukiskannya sebagai suatu pemberontakan pihak komunis melawan pemerintah.
Banyak
hal yang menarik tentang Nugroho Notosusanto, apalagi tentunya karya yang akan
saya analisis pada kesempatan kali ini, yaitu “Tiga Kota” karya yang ditulis
pada sekitar tahun 1953-1954. Buku kumpulan cerpen yang terdiri dari 9 cerpen
yang berlatar tiga kota yakni kota Rembang, Jakarta dan Yogyakarta. Tiga kota
yang tentu punya historis sendiri bagi Nug, begitulah mungkin Nugroho
Notosusanto menjadikan sosoknya sendiri sebagai tokoh dalam beberapa cerpennya
tersebut. Posisi demikian memang bisa saya asumsikan dilatarbelakangi bahwa
karyanya tersebut diilhami oleh pengalaman, kondisi dan perjuangannya pada saat
itu.
Demikian
sekilas gambaran, tentu perkenalan kita pada sosok Nugroho Notosusanto tidak
akan berhenti di sini. Saya akan mengajak pembaca mengenal lebih jauh mengenai
tokoh yang satu ini, meskipun dengan berbagai keterbatasan, di antaranya saya
tidak berhasil menemukan buku biografi atau pun buku lain yang menceritakan
tentang Nugroho Notosusanto sendiri. Namun, marilah kita sama-sama belajar dan
mohon dimaklumi atas segala kekeliruan yang saya tuliskan. Terima kasih.
Siapa Sebenarnya Nugroho Notosusanto?
Awal
perkenalan...
Seperti yang saya utarakan sebelumnya di bagian pendahuluan bahwa pada
mulanya saya secara pribadi belum mengenal sosok tokoh ini. Tapi pada akhirnya
lewat media internetlah saya mampu berkenalan dengan sosok Nugroho Notosusanto.
Meski tidak berkenalan secara langsung atau membaca biografi yang sesungguhnya
melalui sebuah buku, tapi saya kira media tidak akan sampai hati memanipulasi
biografi tokoh ini.
Maka
saya awali perkenalan saya dengan beliau dengan mengumpulkan berbagai sumber
mengenai pak Nug (Agar terasa lebih akrab dan tidak terlalu panjang saya
memanggil nama beliau, maka saya putuskan untuk memanggil demikian. Tentu bukan
tanpa alasan saya memanggil beliau demikian karena begitulah beliau menamai
tokoh aku dalam cerpennya “Nug”, yang saya asumsikan itu nama pendek dari
Nugroho Notosusanto).
Pak
Nug lahir di Rembang, Jawa Tengah pada tanggal 15 Juli tahun 1931. Ayah Pak Nug
bernama R.P. Notosusanto yang mempunyai kedudukan terhormat, yaitu seorang ahli
hukum Islam di Fakultas Hukum, UGM (Universitas
Gadjah Mada) dan
seorang pendiri UGM. Kakak tertua ayah pak Nug adalah pensiunan Bupati Rembang.
Pangkat patih, apalagi bupati sangat sulit dicapai rakyat pribumi pada waktu
itu di daerah pesisiran Rembang. Pak Nug adalah anak pertama dari tiga
bersaudara. Saya berpendapat inilah yang melatar belakangi kiprah beliau yang
luar biasa, memang beliau sudah di anugrahi dengan pangkat dari keluarganya.
Pendidikan
yang pernah di tempuh oleh pak Nug adalah dimulai dengan bersekolah di Europeese
Lagere School (ELS) tamat 1944, kemudian melanjutkan sekolah SMP
di Pati. Tahun 1951 berhasil menamatkan sekolah
SMA di Yogyakarta. Setamat SMA beliau masuk Fakultas Sastra,
Jurusan Sejarah, Universitas
Indonesia dan tamat tahun 1960.
Ketika Pak Nug sedang giat-giatnya dalam gerakan mahasiswa, beliau berkenalan
dengan Irma Sawitri Ramelan (Lilik) yang merupakan keponakan istri mantan
Presiden RI Prof. Dr. B.J.Habibie. Perkenalan itu kemudian diteruskan ke
jenjang perkawinan pada tangal 12 Desember 1960, di Hotel
Indonesia. Dari perkawinan itu
mereka dikaruniai tiga orang anak, yang pertama bernama Indrya Smita sudah
tamat FIS UI, yang kedua Inggita Sukma, dan yang ketiga Norottama.
Tahun
1962 beliau memperdalam pengetahuan di bidang Sejarah dan Filsafat di University
of London. Ketika tamat SMA, sebagai seorang prajurit
muda beliau dihadapkan pada dua pilihan, yaitu meneruskan karier militer dengan
mengikuti pendidikan perwira ataukah menuruti apa yang diamanatkan ayahnya
untuk menempuh karier akademis. Ayahnya dengan tekun dan sabar mengamati jejak
beliau. Ternyata, setelah 28 tahun, keinginan ayahnya terkabul meskipun sang
ayah tidak sempat menyaksikan putranya dikukuhkan sebagai guru besar FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia) karena ayahnya
telah wafat pada tanggal 30 April 1979. Dengan usaha yang sebaik-baiknya,
amanat ayahnya kini telah diwujudkan meskipun kecenderungan pada karier
militernya tidak pula tersisih. Pada tahun 1977 ia memperoleh gelar doktor dalam
ilmu sastra bidang sejarah dengan tesis "The Peta Army During the Japanese
Occupation in Indonesia", yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul Tentara Peta pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia.
diterbitkan oleh penerbit Gramedia pada tahun 1979. Pak Nug mendapat pendidikan
di kota-kota besar seperti Malang, Jakarta, dan Yogyakarta.
Pengalaman
pak Nug di bidang kemiliteran, pernah menjadi angota Tentara Pelajar (TP) Brigade 17 dan TKR Yogyakarta.
Sejak beliau menjadi anggota redaksi harian Kami, beliau semakin menjauh dari
dunia sastra, akhirnya ia tinggalkan sama sekali. Ia kemudian beralih ke dunia
sejarah dan tulisannya mengenai sejarah semakin banyak. Pada tahun 1967, Pak
Nug mendapatkan pangkat tituler berdasarkan
SK Panglima AD No. Kep. 1994/12/67 berhubungan dengan tugas dan jabatannya pada
AD. Pangkat terakhirnya adalah Brigadir Jenderal, pangkat tertinggi yang
mungkin diraih dalam karier sipil di kemiliteran saat itu. Sejak tahun 1964,
beliau menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI. Ia juga
menjadi anggota Badan Pertimbangan Perintis Kemerdekaan serta aktif dalam berbagai
pertemuan ilmiah di dalam dan di luar negeri. Pada tahun 1981 namanya kembali
disebut-sebut berkenaan dengan bukunya Proses Perumusan Pancasila Dasar
Negara. Buku ini menimbulkan polemik di berbagai media massa. Bahkan banyak
pula yang mengecam buku itu sebagai pamflet politik.
Pak
Nug dikenal sebagai penulis produktif. Di samping sebagai sastrawan dan
pengarang, beliau juga aktif menulis buku-buku ilmiah dan makalah dalam berbagai
bidang ilmu, dan terjemahannya yang diterbitkan berjumlah dua puluh satu judul.
Buku-buku itu sebagian besar merupakan lintasan sejarah dan kisah perjuangan
militer. Wawasan yang mendalam tentang sejarah perjuangan ABRI menyebabkan
beliau mampu mengedit film yang berjudul Pengkhianatan
G 30 S/PKI.
Di
bidang keredaksian dapat dicatat sejumlah pengalamannya, yaitu memimpin majalah
Gelora, menjadi pemimpin redaksi Kompas, anggota dewan redaksi Mahasiswa
bersama Emil Salim Tahun 1955-1958, menjadi ketua juri
hadiah sastra, dan menjadi pengurus BMKN. Sewaktu di perguruan tinggi ia
menjadi koresponden majalah Forum, dan menjadi redaksi majalah Pelajar.
Pak
Nug juga aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah baik di dalam negeri maupun di
luar negeri. Dalam tahun 1959-1976 tercatat empat kali pertemuan ilmiah
internasional yang dihadirinya.
Dalam
bidang pendidikan, Pak Nug banyak memegang peranan penting. Ia pernah menjadi
Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FSUI, menjadi Pembantu Rektor Bidang
Kemahasiswaan, UI. Tahun 1971-1985 beliau menjadi wakil Ketua Harian Badan
Pembina Pahdiawan Pusat. Ketika pak Nug dilantik menjadi Rektor UI, beliau
disambut dengan kecemasan dan caci maki para mahasiswa UI. Mahasiswa menganggap
beliau adalah seorang militer dan merupakan orang pemerintah yang disusupkan ke
dalam kampus untuk mematikan kebebasan kehidupan mahasiswa.
Pada
tanggal 19 Maret 1983, pak Nug
dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia dalam Kabinet
Pembangunan IV
(1983-1985). beliau dikenal sebagai orang yang kaya ide, karena semasa menjadi
menteri, beliau mencetuskan banyak gagasan, seperti konsep wawasan almamater,
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Pendidikan Humaniora. Di samping itu,
banyak jasa-jasanya dalam dunia pendidikan karena beliau yang mengubah kurikulum menghapus
jurusan di SMA, sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru (Sipenmaru). Walaupun Nugroho
hanya dua tahun menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, banyak hal yang
telah digarapnya, yaitu Universitas
Terbuka (UT) sebagai
perguruan tinggi negeri yang paling bungsu di Indonesia. Program Wajib Belajar, Orang Tua Asuh, dan
pendidikan kejuruan di sekolah menengah. Pak Nug adalah satu-satunya menteri
yang mengeluarkan Surat Keputusan mengenai tata laksana upacara resmi dan tata
busana perguruan tinggi. Akan tetapi, sebelum SK ini terlaksana pak Nug telah
dipanggil Tuhan Yang Maha Esa. Pada hari Senin, 3 Juni 1985 pukul 12.30 WIB pak
Nug meninggal dunia di kediamannya karena serangan pendarahan otak akibat
tekanan darah tinggi. Beliau meninggal dunia tepat pada bulan yang mulia bagi
umat Islam, yaitu pada bulan Ramadlan dan di kebumikan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta.
Puncak
pengakuan atas sumbangan pak Nug terhadap bangsa Indonesia adalah
diberikannya Bintang
Dharma, Bintang Gerilya, Bintang
Yudha Dharma Nararya, Satyalancana
Penegak.
Pak
Nug merupakan pengarang yang dimasukkan H.B. Jassin ke dalam golongan sastrawan Angkatan 66 termasuk juga sastrawan
angkatan baru (periode 1950-an) menurut versi Ajip Rosidi.
Di
antara pengarang semasanya, pak Nug dikenal sebagai penulis esai. Sebagian
besar pengarang waktu itu hanya menulis cerpen dan sajak, tetapi pak Nug banyak
menulis esai. beliau menyelami zamannya, terutama tentang sastra dan
kebudayaan. Tulisan-tulisan yang berisi pembelaan para sastrawan muda, yaitu
ketika terdengar suara-suara tentang krisis kesusastraan, menyebabkan pak Nug
tertarik dalam dunia sastra Indonesia. pak Nug lah yang memprakarsai simposium
sastra FSUI pada tahun 1953; yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai
tahun 1958.
Bakat
pak Nug dalam mengarang sudah terlihat ketika masih kecil. Beliau mempunyai
kesenangan mengarang cerita bersama Budi Darma. Cerita beliau selalu bernapas
perjuangan. Pada waktu itu Republik Indonesia memang sedang diduduki oleh
Belanda. Dari cerita-cerita yang dihasilkan beliau waktu itu, tampak benar
semangat nasionalismenya. Menurut ayahnya, pak Nug mempunyai jiwa nasionalisme yang besar.
Sebagai
sastrawan, pada mulanya pak Nug menghasilkan sajak dan sebagian besar pernah
dimuat di harian Kompas. Oleh karena tidak pernah mendapat kepuasan dalam
menulis sajak, beliau kemudian mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama
cerpen dan esai. Karya pak Nug pernah dimuat di berbagai majalah dan surat
kabar seperti Gelora, Kompas, Mahasiwa, Indonesia, Cerita, Siasat, Nasional,
Budaya, dan Kisah. Mungkin itu sedikit perkenalan saya dengan Pak Nug melalui
media internet.
Pendekatan Ekspresif dalam Kumpulan Cerpen
Tiga Kota Karya Nugroho Notosusanto
Dekati karyanya, kenali
pengarangnya...
Mengenai
kehidupan Pak Nug sudah sedikit saya perkenalkan pada bagian sebelumnya, pak
Nug merupakan pengarang yang dimasukkan H.B. Jassin ke dalam golongan sastrawan Angkatan 66 termasuk juga sastrawan
angkatan baru (periode 1950-an) menurut versi Ajip Rosidi.
Memang pada tahun tersebutlah beliau berkiprah dalam kesusastraan Indonesia.
Mungkin itu pula alasan saya mengambil karya pak Nug sebagai bahan analisis,
karena beliau merupakan pengarang yang masuk pada periode 1961-1971, periode yang
termasuk pada kajian kelompok saya.
Tiga
Kota merupakan salah satu judul kumpulan cerpen pak Nug yang berhasil dibukukan
oleh penerbit Balai Pustaka, cetakan pertamanya pada tahun 1959. Dan buku
kumpulan cerpen Tiga Kota yang berada di tangan saya saat ini merupakan buku
cetakan ke empat yaitu cetakan pada tahun 1975.
Meskipun
sebenarnya buku kumpulan cerpen Tiga Kota sendiri sudah pak Nug tulis dari
1953-1954.
Pendekatan
Ekspresif...
Dalam
studi sastra ada sejumlah pendekatan yang dapat diterapkan oleh penelaah
sastra, di antaranya yaitu pendekatan ekspresif. Pendekatan ekspresif ialah
pendekatan yang lebih mendasar pada pengarang sebagai pencipta karya sastra
tersebut dan lebih menitikberatkan kajiannya pada ekspresi perasaan dan
temperamen penulis. Pendekatan ekspresif tersebut mengenai batin atau perasaan
seseorang yang kemudian di ekspresikan dan dituangkan ke dalam bentuk karya dan
tulisan hingga membentuk sebuah karya sastra yang bernilai rasa tersendiri, dan
menurut isi kandungan yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa karya sastra tidak dapat hadir bila tidak ada yang menciptakannya, sehingga pencipta karya sastra sangat penting kedudukannya dalam kegiatan kajian dan apresiasi sastra, pikiran dan perasaan pengarang. Sebab pada hakikatnya karya sastra adalah tuangan pengalaman penulis dari segala gagasan, cipta rasa, emosi, ide, angan-angan yang memandang suatu karya sastra yang esensial sebagai dunia internal (pengarang) yang terungkap, sehingga menjadi dunia eksternal (berupa karya seni) sebagai perwujudan proses kreatif. Pikiran dan perasaan pengarang adalah sumber utama dan pokok masalah dalam suatu novel misalnya,adalah sifat-sifat dan tindakan-tindakan yang berasal dari pemikiran pengarangnya, sehingga karya sastra merupakan sarana atau alat untuk memahami keadaan jiwa pengarang. Guna pendekatan ekspresif ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pengarang dalam mengungkapkan gagasan-gagasan, imajinasi dan spontanitasnya (Nasya Wulan, 2014:Diposkan oleh dititikgerimizku.blogspot).
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa karya sastra tidak dapat hadir bila tidak ada yang menciptakannya, sehingga pencipta karya sastra sangat penting kedudukannya dalam kegiatan kajian dan apresiasi sastra, pikiran dan perasaan pengarang. Sebab pada hakikatnya karya sastra adalah tuangan pengalaman penulis dari segala gagasan, cipta rasa, emosi, ide, angan-angan yang memandang suatu karya sastra yang esensial sebagai dunia internal (pengarang) yang terungkap, sehingga menjadi dunia eksternal (berupa karya seni) sebagai perwujudan proses kreatif. Pikiran dan perasaan pengarang adalah sumber utama dan pokok masalah dalam suatu novel misalnya,adalah sifat-sifat dan tindakan-tindakan yang berasal dari pemikiran pengarangnya, sehingga karya sastra merupakan sarana atau alat untuk memahami keadaan jiwa pengarang. Guna pendekatan ekspresif ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pengarang dalam mengungkapkan gagasan-gagasan, imajinasi dan spontanitasnya (Nasya Wulan, 2014:Diposkan oleh dititikgerimizku.blogspot).
Mengapa
“Tiga Kota”?
Judul
buku ini “Tiga Kota”, saya rasa bukan tanpa alasan judul buku ini dikatakan
demikian, karena memang kumpulan cerpen ini diambil dari latar cerita yang
terjadi di tiga kota. Yang terdiri dari sembilan cerita pendek.
Ketiga
kota itu adalah Rembang, Yogyakarta dan Jakarta. Kota yang paling banyak
memberi pak Nug inspirasi untuk lahirnya cerita. Rembang melatari cerita
kenangan Mbah Danu, Pengantin dan Tayuban. Yogyakarta dan Jakarta melatari
cerita Jeep 04-1001 Hilang dan Vickers Jepang.
Kumpulan
cerpen Tiga Kota, ini sedikitnya merekam kehidupan pribadi yang dialami pak
Nug.
Biarkan
cerita ini mengalir, meski tak sampai bermuara...
v Rembang, di balik
sebuah tradisi dan kepercayaan ...
Cerpen
berlatar di kota Rembang, tentu kita ketahui bersama bahwa Pak Nug lahir di
Rembang, Jawa Tengah, tepatnya pada tanggal 15 Juli tahun 1931. Tentunya kota
ini amatlah berpengaruh terhadap karya-karya yang diciptakan pak Nug.
Cerpen
yang berlatar kota Rembang ini terdiri dari tiga judul cerita pendek yaitu Mbah
Danu, Pengantin dan Tayuban.
Mbah
Danu, begitulah judul cerpen pertama yang berlatar
di kota Rembang yang dibuat 07 Juli 1954. Cerpen Mbah Danu ini bertemakan
kehidupan sosial. Menceritakan tentang keadaan kehidupan masyarakat kota
Rembang yang masih percaya terhadap hal-hal yang tahayul dari pada yang modern.
Saya kira begitulah gambaran kota Rembang yang ingin disampaikan pak Nug, bahwa
kotanya pada saat itu masih sangat memegang teguh kepercayaan terhadap roh-roh,
seperti beliau menggambarkan tokoh Mbah Danu sebagai seorang dukun yang amat
terkenal di kampungnya, yang semua orang mempercayakan segala pengobatan kepada
Mbah Danu dari pada berobat ke dokter. Pak Nug pun menggambarkan tokoh dukun
Mbah Danu melakukan ritual pengobatannya yang aneh dan tidak wajar. Memang
seperti itulah gambaran masyarakat pada masa lalu sebelum era modernisasi saat
ini. Namun, saya kira hal-hal semacam itu tidak hanya terjadi pada masa lalu
tetapi pada masa sekarang pun kepercayaan semacam itu masih ada yang
mempercayai dan menjadikannya sebuah tradisi. Meski pada sekitar tahun 1954,
pak Nug menceritakan sudah adanya seorang dokter untuk mengobati berbagai penyakit
melalui pengobatan medis yang telah teruji secara rasional, namun tetap saja
warga di kampung itu lebih mempercayai dukun. Di akhir cerita, ketika ada salah
satu tokoh yang sakit demam berdarah dan dokter yang mengobati pasien tersebut,
namun sayang orang yang sakit itu tidak kunjung sembuh malah akhirnya meninggal
dunia, sosok Mbah Danu dan beberapa warga kampung lain menyalahkan mengapa
pengobatan tersebut diserahkan kepada dokter bukan Mbah Danu, tapi dengan
kejutan yang sederhana namun begitu jelas pak Nug mengungkapkan bahwa seorang
pesakit demam berdarah itu ternyata tidak meminum obat yang diberikan dokter
tapi malah menumpuk atau membuangnya di pojok tempat tidurnya. Saya kira inilah
gambaran yang ingin disajikan pak Nug bahwa pengobatan dokter sudah pantas
dipercayakan keahlian medisnya, bukan malah mempercayai suatu yang bahkan jauh
dari ajaran agama.
Pengantin,
adalah judul cerpen kedua yang berlatar kota Rembang ditulis pak Nug pada
tanggal 04 Juli 1954. Saya akan langsung
menyimpukan saja bahwa dalam cerita ini pak Nug mengantarkan kita bagaimana
sebuah tradisi perjodohan begitu mengikat. Ketika seorang ayah itu pak Sekater
hendak menikahkan putri sulungnya, namun ternyata putri sulungnya tersebut
memiliki kecintaan pada laki-laki lain yang akhirnya malah kawin lari dengan
laki-laki tersebut sebelum dinikahkan oleh pak Sekater, karena pak Sekater
tidak mau menanggung malu kepada besannya, maka terjadilah kesepakatan yang
akhirnya mengorbankan putri bungsunya yang masih duduk di bangku sekolah, gadis
yang ceria dan cerdas itu harus menerima perjodohan menggantikan kakaknya untuk
menikah. Begitulah kira-kira pak Nug menggambarkan bagaimana di kotanya
perjodohan amat mengikat, bahkan untuk mempertahankan harkat martabat seseorang
bisa mengorbankan apapun termasuk masa depan anak yang belum layak menjalani
sebuah bahtera pernikahan.
Tayuban,
merupakan judul cerpen ketiga yang berlatar kota Rembang yang ditulis pada
tanggal 03 Juli 1954. Coba akan saya ceritakan lagi mengenai salah asi keluarga
pak Nug yang saya sudah singgung di awal perkenalan dengan pak Nug, yaitu kakak
tertua ayah pak Nug adalah pensiunan Bupati Rembang.
Pangkat patih, apalagi bupati sangat sulit dicapai rakyat pribumi pada waktu
itu di daerah pesisiran Rembang. Jika saya ambil benang merah dari cerita yang
ketiga ini di dalamnya melibatkan kepatuhan seorang istri pada suami pada zaman
itu, yang suaminya merupakan seorang berpangkat mantri polisi, pangkat mantri
polisi atau pangkat yang lebih rendah dari bupati haruslah sangat tunduk dan
urut pada zaman itu, titah seorang bupati sudah seperti gubernur memerintah.
Pangkatnya tinggi dan disegani. Pada acara yang diadakan bupati inilah ada yang
namanya tayuban, yaitu adanya para penari yang berpakaian ketat atau kurang
sopan dipakai orang pada umumnya di zaman tersebut. Bupati mengundang seluruh
bawahannya. Termasuk tokoh sang mantri polisi bersama istrinya, disediakannya
berbagai minuman keras, bupati itu pun menyuruh mantri polisi tersebut tayuban
dengan para penari dan meminum minuman keras serta melakukan perbuatan
selayaknya suami istri dengan para penari. Sedangkan para istri mantri-mantri
polisi itu hanya bisa menyaksikan suami-suami mereka melenggang bersama para
penari ke sebuah kamar, dan akhirnya para istri pulang dengan perasaan bahwa
suami mereka merupakan lelaki yang paling berbudi di seluruh dunia karena sudah
melakukan kewajibannya menuruti perintah gusti kanjeng bupati, karena kalau
mereka para mantri polisi tidak mematuhi perintah bisa saja mereka dipecat.
Sesuatu yang pak Nug sajikan dalam cerita ini, pada zaman sekarang ini akan
terasa aneh, namun itulah yang terjadi bagaimana pangkat memiliki pengaruh
kekuasaan yang sangat tinggi, bahkan menjadikan manusia layaknya tidak
bermartabat dibalik pangkatnya sekalipun.
v Yogya,
sengsara di bawah kaki perjuangan...
Saya
akan menyinggung bagian perkenalan dengan pak Nug, yaitu mengenai ayah pak Nug
bernama R.P. Notosusanto yang mempunyai kedudukan terhormat, yaitu seorang ahli
hukum Islam di Fakultas Hukum, UGM (Universitas
Gadjah Mada) dan
seorang pendiri UGM. Mungkin inilah yang mengantarkan mengapa pak Nug memberi
latar Yogya pada cerpennya. Cerpen yang berlatar Yogya ini terdiri dari dua
cerpen yang berjudul Gunung Kidul dan Jeep 04-1001 Hilang.
Gunung
Kidul, judul cerpen ke empat yang berlatar Yogya ditulis pak Nug pada tanggal 02
Mei 1953. Pak Nug menceritakan bagaimana di sebuah desa terpencil ada keluarga
tinggal di sebuah gubuk dan miskin, anaknya menangis menahan lapar, ibunya
berusaha menenangkan anak kecil itu dengan menceritakan berbagai kisah, namun
ternyata anaknya tersebut terus merasakan kelaparan, sedangkan ayahnya tak
kunjung pulang. Ketika malam yang dingin itu, di kampung yang sepi itu tetaplah
ada yang bertugas berpatroli menjaga kampung. Ketika meronda dua orang itu
melihat sosok orang sedang mencabuti pohon ketela milik pak Sardi, kemudian
laki-laki itu diteriaki maling dan warga menjadi ramai berhamburan mengejar
maling tersebut. Maling tersebut lari hingga mendekati rumah mbok Kromo
begitulah nama seorang ibu yang anaknya sedang kelaparan. Akhirnya maling itu
tertangkap dan dipukuli hingga meninggal dunia. Ketika warga ingin melihat
siapakah maling tersebut dan meminjam lampu kerumah mbok Kromo dan dilihatnya
maling tersebut ternyata suaminya yaitu pak Kromo yang telah meninggal dihabisi
masa. Inilah kisah memilukan yang dihadirkan pak Nug di era pra kemerdekaan,
bagaimana kesulitan-kesulitan mendera, kelaparan menyengsarakan warga miskin,
bahkan hanya untuk mencari pengganjal perut saja harus menaruhkan nyawa.
Jeep
04-1001 Hilang, adalah judul cerita yang kelima yang berlatar di Yogya. Saya
juga pada bagian ini akan menyinggung bagian perkenalan saya dengan pak Nug,
seperti kita ketahui beliau juga sangat berperan dalam kemiliteran
memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Pengalaman pak Nug di bidang kemiliteran,
pernah menjadi anggota Tentara Pelajar (TP) Brigade 17 dan TKR Yogyakarta. Saya
kita cerita ini pun bermula pada ranah tersebut, bagaimana para pemuda bangsa
menjadi pejuang militer dalam mengabdi kepada negara untuk mengusir penjajah,
sampai rela meninggalkan sanak keluarga, apalagi jika kehidupan sanak keluarga
itu juga menderita dalam kubangan kemiskinan. Namun itulah yang diceritakan pak
Nug dengan tokoh Totok yang meninggalkan ibu dan adik-adiknya dalam kemelaratan
demi memperjuangkan bangsa. Pak Nug sendiri menggunakan kata aku sebagai tokoh
pencerita dengan nama Nug. Dari sinilah saya berkesimpulan pak Nug terlibat
langsung pada kejadian ini saat menjadi tentara pelajar.
v Jakarta,
senandung kesedihan...
Jakarta
merupakan tempat yang tentu sangat berpengaruh dalam kehidupan pak Nug, tempat
beliau merajut mimpi, belajar ilmu sejarah dan meniti karier sampai pada
menjadi seorang menteri dan juga menghabiskan hidupnya sampai pada kematian.
Cerpen
berlatar kota Jakarta ini terdiri dari empat judul cerpen yaitu lagu, vickers
Jepang, puisi dan Kemayoran 1954. Pada bagian latar ini saya akan lebih sedikit
menceritakan cerita, mungkin hanya sekilas.
Judul
keenam adalah lagu, cerita ini dibuat pada tanggal 18 September 1954.
Menceritakan bagaimana kecintaan seorang ibu yang begitu takut kehilangan
anaknya, kecintaan anaknya bermain piano membawa dia untuk belajar di luar kota
dan dibiayai oleh orang kaya yang baik hati ingin menyekolahkan Maman, anak
lelaki itu. Tapi lama kelamaan ibunya terlihat sedih dan ingin selalu bersama
anaknya. Saya menganggap rasa sedih ini mungkin bentuk rasa kecintaan orang tua
pak Nug ketika pak Nug menempuh pendidikan di luar kota, tentu orang tua
terutama seorang ibu akan sangat sedih dan kehilangan meskipun anaknya pergi
untuk menempuh pendidikan.
Judul
ketujuh adalah vickers Jepang, pak Nug membawa lagi sisi perjuangan
beliau pada masa menjadi tentara. Beliau pun menggunakan tokoh aku sebagai
pencerita dan bernama Nug, tentu saya pikir beliau melukiskan kejadian yang
dialaminya sendiri, ketika beliau sedang naik sepeda malam hari dan pada saat
di perjalanan tersebut dihadang seseorang dan dipintai uangnya dilucuti jam
yang dipakainya, namun pada akhirnya ternyata yang berani merampoknya adalah
anak buahnya sendiri ketika di cam perjuangan. Ternyata yang dulunya seorang
prajurit itu kini tak cukup kehidupannya, istrinya mau melahirkan, padahal dulu
dia termasuk orang yang kaya, lebih tepatnya orang tuanya, tapi karena tak
direstui pernikahnnya dengan gadis desa maka tidak lagi dianggap anak lah dia.
Tentu pada zaman itu martabat adalah segala-galanya. Anak pun dibiarkan hidup
sengsara demi tetap menjaga nama harga diri.
Judul
kedelapan adalah Puisi, yang ditulis pada tanggal 17 Maret 1954. Pak Nug
pada cerita ini masih menjadi toko aku dalam dirinya tapi kali ini dirinya
sebagai penulis. Bagaimana dia mempunyai teman yang bernama Gajah, perangainya
yang galak dan sering adu jotos, namun tiba-tiba kadang perangainya menjadi
halus ketika sehabis mengurung diri di kamar dan sehabis membuka albumnya.
Ternyata setelah mengakui pada pak Nug bahwa di albumnya itu berisi puisi-puisi
para sastrawan termasuk pak Nug, pak Nug sendiri menyebutkan judul sajaknya
yaitu “Triwikrama” pada cerita tersebut. Inilah mungkin gambaran bahwa
kehidupan yang keras pada zaman pemerintahan orde lama sekitar tahun 1945-1968,
masa pra kemerdekaan. Sastra menjadi penawar kegundahan.
Judul
kesembilan adalah Kemayoran 1954, yang ditulis pada tanggal 12 April
1954. Pak Nug menceritakan sebuah kecelakaan pesawat yang terjatuh di Singapura
dengan mengambil sisi orang ketiga yang menyaksikan sebelum terjadi kecelakaan
tersebut ada seorang ayah yang berpisah dengan anak yang masih kecil dan
istrinya untuk pergi bertugas dan menjanjikan akan kembali, tapi esoknya bukan
menunggu kedatangan yang membahagiakan malah menunggu jasad ayah yang meninggal
karena kecelakaan pesawat. Sisi pilu inilah yang mengantarkan bagaimana sebuah
dilema kecelakaan pesawat. Bagaimana luka yang dirasakan keluarga yang
ditinggalkan.
Mungkin
demikian analisis saya terhadap karya yang ditulis oleh pak Nugroho Notosusanto
dengan judul buku “Tiga Kota”. Cerita yang tentu sangat historis dengan keadaan
bangsa pada masa orde lama atau pra kemerdekaan.
Semoga
dapat bermanfaat, tentunya masih terdapat banyak kekurangan. Saran dan kritik
pak Ahmad Bahtiar akan sangat membantu saya. Mohon maaf dan terimakasih.
Sumber
Notosusanto, Nugroho. Tiga Kota. Jakarta: Balai Pustaka.
1975.
http://id.wikipedia.org/wiki/Nugroho_Notosusanto. Diakses selasa 1 juli 2014.
Wulan, Nasya http://nasya-wulan.blogspot.com/2010/06/pendekatan-ekspresif-dan-pendekatan.html Diposkan oleh dititikgerimizku.blogspot.com Diakses di selasa 1 juli 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar