Judul : Sastra Bandingan dan Sejarah
Sastra Indonesia
Penulis : Ayu Sutarto
Terbit : Majalah, Jurnal Kritik, No 3
Tahun 2014
Tulisan yang mengupas tentang sastra
bandingan (comparative literature) ini merupakan jurnal yang ditulis
oleh Ayu Sutarto dengan judul utama Sastra Bandingan dan Sejarah Sastra
Indonesia. Tulisan yang diawali dengan pandangan bahwa ketika berdiskusi
tentang sastra bandingan maka ada hal yang menarik pula untuk diamati atau diteliti
yakni mengenai fenomena era pascamodern (postmodern) yang tentunya memiliki pengaruh terhadap
perkembangan sastra bandingan.
Ayu Sutarto, merumuskan pandangan yang
ditulis pada paragraf pertamanya dengan dua buah pertanyaan. “Masih relevankah
mengupas tentang sastra bandingan ketika dunia telah mengalami fenomena tanpa
batas (borderless) akibat pesatnya perkembangan teknologi informasi?
Apakah pendekatan yang kita gunakan dalam telaah sastra bandingan harus berubah
ketika dunia mengalami proses homogenisasi budaya (cultural homogenization)
yang mengancam pusaka/warisan budaya (cultural heritage) bangsa-bangsa
di berbagai belahan bumi?” (paragraf 2). Ayu Sutarto mencoba menyadarkan bahwa
manusia sedang mengalami perubahan besar dalam era teknologi informasi saat
ini. Seluruh warga bumi dapat dengan mudah berdialog tentang apa saja dengan
bangsa lain tanpa mempertimbangkan berbagai latar perbedaan. Semua saling
mempengaruhi dalam berbagai kegiatan mulai dari kegiatan ekonomi, politik,
agama, keilmuan, termasuk pula dunia kesusastraan. Berkembangnya pula sastra
siber (cyber literature), berkembangnya berbagai penyakit sosial akibat
arus teknologi dan informasi tanpa penyaringan, karena semua diterima dan
dicerna bulat-bulat hingga berdampak pula pada tradisi bersastra di berbagai
belahan bumi mengalami perubahan yang cukup berarti dalam hal mempengaruhi proses
kreatif pengarang. Ayu Sutarto menawarkan gagasannya agar para pemerhati dan
peneliti sastra yang menggeluti disiplin sastra bandingan melakukan redefinisi
dan reinterpretasi terhadap disiplin sastra bandingan agar dapat beradaptasi
dengan prahara perubahan yang menumbuhkan kekhawatiran akan terjadinya
homogenisasi budaya dan hilangnya jati diri bangsa.
Ayu Sutarto mencantumkan dua
subjudul dalam tulisannya. Tulisannya dengan subjudul “Sastra Bandingan dan
Sejarah Sastra” mengulas berbagai pandangan para ahli mengenai kajian sastra
bandingan dan sejarah sastra. Ayu Sutarto mengakui bahwa definisi mengenai
sastra bandingan saat ini masih menjadi perdebatan. Seperti yang diungkapkan
Ulrich Weisstein (1973), bahwa pada umumnya para pakar seperti Tieghem, Carre,
Guyard, dan Remak bersetuju sastra bandingan merupakan disiplin ilmu yang tidak
memilik metodologi yang berasal dari dirinya sendiri. Disiplin yang satu ini
dianggap sebagai cabang dari sejarah dan teori sastra. Tetapi yang hingga
saat ini juga belum mendapat kesepakatan
bulat adalah benarkah sebuah entitas yang disebut sastra memiliki sejarah? Yang
kemudian bermunculan berbagai macam pertanyaan mengenai keterkaitan antara
sastra bandingan dan sejarah sastra. Ayu Sutarto mencoba menjelaskan bagaimana
para pemerhati sastra bandingan sendiri mengalami kesulitan dalam
mendefinisikan sastra bandingan atau pun sejarah sastra sehingga baik definisi
sastra bandingan maupun sejarah sastra agaknya masih memiliki banyak celah
untuk didefinisikan dan diinterpretasikan kembali. Dan kegiatan
membanding-bandingkan senyatanya tidak akan pernah surut karena merupakan
kodrat manusia.
Ayu Sutarto kembali mengingatkan bahwa telaah sastra
bandingan senyatanya dimulai di Eropa yang merupakan suatu bentuk apresiasi
terhadap orisinalitas karya sastra asing, yaitu pada abad ke-16 yang dikenal
sebagai masa Renaisans. Ayu Sutarto mengajak untuk menyimak bagaimana Carre
mendefinisikan sastra bandingan merupakan cabang dari sejarah sastra, yakni
tentang hubungan spiritual antar bangsa, karya satu dengan yang lain atau
kehidupan sastrawan satu dengan yang lain. Meskipun akhirnya definisi Carre ini
banyak dipertanyakan dan digugat karena dianggap terlalu sederhana untuk sebuah
dunia disiplin sastra yang luas dan selalu berkembang. Maman S. Mahayana (2009)
menegaskan, terdapat dua hal yang sangat mungkin menjadi masalah dalam sastra
bandingan sebuah disiplin ilmu. Pertama, persoalan yang menyangkut konsep dan
yang kedua terkait tujuan, Ayu Sutarto juga mengatakan perlu kiranya dipertanyakan
kembali rumusan-rumusan sastra bandingan yang pernah ada, dan pertimbangan
tujuan sastra bandingan menjadi lebih kompleks. Dalam pengamatan Sapardi Djoko
Damono, sastra bandingan tidak menghasilkan teori sendiri, dan oleh karena itu
hampir semua teori bisa dimanfaatkan sesuai dengan objek dan tujuan penelitiannya. Seiring dengan
proses membanding-bandingkan muncullah pertanyaan apa saja yang bisa
dibanding-bandingkan? Dalam menjawab hal ini Sapardi Djoko Damono merujuk
kepada pandangan Remak yang mengatakan bahwa sastra bandingan bahwa sastra
bandingan merupakan kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian
hubungan antara sastra dengan bidang ilmu lain. Sapardi Djoko Damono juga
menegaskan apabila telaah sastra bandingan hanya merujuk kepada batas-batas
negara saja maka akan timbul banyak masalah sebab dalam sebuah negara terdapat
perbedaan bahasa. Menurut Hutomo sampai dengan awal tahun 1990-an praktisi
sastra bandingan , baik negara timur maupun negara barat mengaitkan dirinya dengan
tiga hal yaitu: 1) afinitas organik, 2) tradisi, dan 3) pengaruh. Hutomo
menegaskan bahwa sastra bandingan sebagai ilmu mencakup 1) sastra bandingan
lama, 2) sastra bandingan lisan, dan 3) sastra bandingan modern. Kembali kepada
pemahaman mengenai sastra bandingan Ayu Sutarto mengutip pandangan Francois
Jost bahwa minat yang tumbuh dengan cepat dalam sastra bandingan belum disertai
dengan pemahaman yang memadai tentang substansi sastra bandingan dan tujuannya.
Dibalik pertanyaan terdapat hubungan antara sastra bandingan dan sejarah
sastra? Ayu Sutarto mengungkapkan meskipun istilah sastra bandingan dan sejarah
sastra merupakan istilah yang masih diperdebatkan, para pakar dan pemerhati
disiplin sastra bandingan hendaknya tidak berhenti berbuat.
Subjudul kedua dalam tulisan Ayu
Sutarto adalah “Era Pascamodern dan Sastra Bandingan”. Sekarang ini manusia
tidak lagi hidup dalam era modern meskipun istilah modern masih terus
digunakan. Ayu Sutarto mengungkapkan bahwa era pascamodern yang terjadi saat
ini merupakan era peradaban pasar, pola bisnis yang mendominasi pemikiran.
Peradaban pasar dikhawatirkan menjadi pemicu terjadinya proses homogenisasi
budaya serta membahayakan tradisi lokal. Lima pemicu perubahan yang oleh
Appadurai masing-masing dinamakan etnoscapes “aliran manusia”, mediascapes
“aliran media”, technoscapes “aliran teknologi”, finanscapes
“aliran uang” dan ideoscapes “aliran ideologi”. Ayu Sutarto menjelaskan
konsep era pascamodern yang dikemukakan Somervell dan Toynbee yang berawal dari
tahun 1875, sejarah barat setelah Zaman Gelap (675-1075), Era Pertengahan
(1075-1475), dan Era Modern (1475-1875). Tapi tentu akan berbeda dengan sejarah
Timur. Budaya pascamodern ditandai dengan kabur dan runtuhnya sekat-sekat
antara budaya dan seni. Pascamodern adalah sebuah gejala yang
membingungkan,manusia kehilangan banyak hal karena terdesak perubahan.
Pemaknaan tentang pengetahuan (knowlage) juga telah berubah, kini dunia
benar-benar telah mengalami perubahan yang sangat cepat. Pascamodernisme telah
mengambil perhatian yang mendalam terhadap fenomena bahasa dan kebudayaan,
tepatnya untuk menyatakan bahwa pemahaman terhadap diri seseorang bukan hanya
dapat dilakukan melalui hal-hal atau gejala-gejala yang bersifat universal,
tetapi juga melalui hal-hal khusus yang terdapat pada suatu kebudayaan. Manusia
pascamodern adalah manusia yang mengidap berbagai penyakit kecanduan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Pada era pascamodern ini dunia sastra mengalami perubahan. Ayu
Sutarto memberikan contoh perubahan yang terjadi di Indoneisa bagaimana
penulis-penulis kontemporer Indonesia dipenuhi Oen penulis perempuan belia yang
diberi label sebagai penulis Astra wangi.
Budianta memulai tulisannya dengan subjudul “Yang Baru
dalam NH”. Sesuai dengan subjudul yang dipilihnya, penelurusan mengenai
kapan dan oleh siapa istilah NH pertama dipakai terjawab dalam paragraf
pertama. Istilah NH pertama kali digunakan Stephen Greenblattt pada 1982
yang mencoba melihat keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial,
ekonomi, dan politik yang meoingkupinya. Ia mendobrak kecendrungan kajian
tekstual yang ahistoris, otonom, dan dipisahkan dari aspek yang berada di luar
karya. Tidak hanya menggugat formalisme, menurut Greenblatttt karya sastra ikut
membangun, mereproduksi konvensi, norma, dan nilai budaya melalui tindak verbal
dan imajinasinya. Revisi NH terhadap pendekatan formalis maupun
sejarah disimpulkan oleh Louis A. Montrose dengan istilah “kesejarahan sastra
dan kesastraan sejarah” yang berarti membaca sastra = membaca sejarah dan
membaca sejarah = membaca sastra.
Selanjutnya, lewat subjudul “Yang bukan baru: kesinambungan dan perbedaan
teoritis” Melani Budianta mencoba membandingkan NH dengan beberapa teori yang
sudah ada sebelumnya. Pertama Budianta membandingkan dengan Cultural
Materialism yang dipelopori Raymond Williams pada tahun 60-an. Cultural
Materialism yang dipengaruhi oleh neo-Marxis melihat pentingnya
memberi pemaknaan dengan menempatkannya pada kondisi material masanya.
Selanjutnya Budianta juga melihat bahwa NH tidak dapat dilepaskan dari
teori-teori postrukturalis seperti teori Dekonstruksi Jaques Derrida atau
keterkaitan antara tanda dan ideologi yang diungkapkan oleh Rland Barthes.
Hanya saja, jika dekonstruksi yang cenderung berpusat pada teks, NH
mengutamakan hubungan teks dengan hukum, ekonomi, politik sehingga NH
dengan kritik poskolonial, feminis, atau cultural studies yang menekankan
dimensi politis-ideologis produk-produk budaya.
Setelah memaparkan yang baru dan bukan baru dalam kritik NH, pada
bagian selanjutnya Budianta membicarakan “Teori dan Metode: Foucault dan
Geertz”. NH banyak bertumpu pada konsep kekuasaan Michel Foucault yaitu
keniscayaan yang selalu hadir dalam setiap interaksi manusia, termasuk bahasa.
Karena relasi kuasa bersirkulasi terus menerus tanpa henti mendorong
kreativitas dan produktivitas, maka karya sastra dengan sendirinya menghadirkan
relasi kuasa itu melalui bahasa yan dipakainya. Tidak hanya itu pengaruh
Foucault tampak dari definisi Greenblattt tentang kebudayaan yaitu ruang tempat
tarik menarik antara “kendala” dan “mobilitas”. Kritik NH umumnya menempatkan
“subjek” dalam suatu tegangan antara menjadi agen yang mempunyai kesadaran akan
pilihan, tindakan, kemauan, dan pihak yang ditaklukan atau mengalami
subjektivikasi oleh idelogi atau nilai-nilai yang dominan. Pengaruh Clifford
Greertz tampak pada metode “thick description” yaitu metode etnografi untuk
memahami suatu produk budaya lain dengan rinci mengupas lapisan makna yang
kompleks dalam kode-kode budaya yang mendasarinya. Sebagai penutup, Budianta
menegaskan berbeda dengan pendekatan sejarah yang memakai teks dan produk
budaya yang menonjol atau penting pada zamannya, NH menggunakan hal-hal
yang tampak remeh-temen dan tersisihkan dari sejarah dan menyadingkannya dengan
teks sastra yang dimaknai untuk menunjukan bagaimana ideologi beroperasi.
Pada bagian “Dimensi Ekonomi: Puitika Pasar dalam Karya Sastra dan Kritik
Sastra”, Budianta melihat dimensi ekonomi sangat kuat mewarnai pendekatan NH.
Menurut Greenblattt interaksi budaya didasari oleh logika pertukaran.
Kebudayaan dilihat sebagai jaringan negosiasi untuk pertukaran benda-benda
material, gagasan, dan pertukaran manusia. Karena NH merupakan
pendekatan yang lahir dalam tatanan masyarakat kapitalis, mau tak mau akan
diwarnai oleh sistem yang membentuknya. Itulah yang membuat jargon seperti
negosiasi, pertukaran, sirkulasi, merupakan metafor sistem ekonomi yang
bertumpu pada sirkulasi uang dan modal.
“Sumbangan dan Keterbatasan”, menurut Budianta fokus perhatian NH pada
yang bersifat sinkronik dan mikro merupakan kekuatan dan keterbatasan. Salah
satu sumbangan NH adalah mempelopori penjelajahan sejarah di bidang
sastra dengan memakai wawasan dan konsep-konsep postruktural. NH juga
menunjukan kekayaan yang ditawarkan oleh studi lintas disiplin, antara sejarah,
sastra, ekonomi, politik.
Terakhir pada “Pasar dalam Tjerita Boedjang Bingoeng: Melupakan dan Membingkai
Teori” Melani Budianta mencoba menjawab pertanyaan apakah NH bermanfaat
bagi kajian sastra di Indonesia. Sebelum memulai analisis, Budianta mengambil
penelitian Tinneke Hellwig mengenai novel populer Fientje de Finiks. Dengan
pendekatan feminis, Hellwig menunjukan bahwa baik novelnya maupun
dokumen-dokumen sejarah tentang kejadian peristiwa yang sama , telah sama-sama
membungkam subjek yang dibicarakannya, perempuan, melalui bias nilai patriarki
yang media sastra, jurnalisme, dan sejarah kolonial. Hal tersebut menunjukan
Hellwig telah melakukan penelitian sejarah dengan bingkai feminis dan
memperlihatkan berbagai penelitian tidak muncul dari satu pendekatan tapi
permasalahan yang kemudian menuntut jawaban dengan kerangka konseptual yang
lintas pendekatan. Itulah yang membuat Budianta tidak memikirkan NH
ketika menulis kajian tentang naskah Aman Datoek Madjoindo berjudul “Tjerita
Boedjang Bingoeng”. Ia membuat penelitian diakronis mengenai “mengapa pasar dan
uang begitu sentral dalam Tjerita Boedjang Bingong?” dan
mengaitkannya dengan Si Doel Anak Jakarta yang direproduksi menjadi dua
film karya Sjuman Dajaja, dan sinteron produksi Rano Karno. Cara kerjanya, sebagai
peneliti Melani Budianta tidak mulai dari teori atau pendekatan melainkan dari
teks lalu melihat berbagai permasalahan yang ditawarkan oleh teks itu untuk
diangkat sebagai penelitian. Pada saat yang sama, berbagai konsep, teori,
model-model kajian yang pernah dibacanya telah terinterbalisasi sehingga
memberinya “kacamata-kacamata” yang memungkinkannya menangkap permasalahan
dalam teks (hlm.18). Sebagai penutup Melani Budianta mengajak pembaca untuk
melakukan hal yang sama: membaca model-model kajian yang menerapkan berbagai
konsep, teori, dan pendekatan, kemudian melupakannya ketika sedang menggeluti
teks-teks sastra, sehingga dapat menemukan permasalahan-permasalahan yang
kontekstual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar