Selasa, 23 Juni 2015

RESENSI

Sepilihan Sajak dan Novel “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono (SDD) Pemilik Daya Pikat yang Sama Kuatnya

Entah mengapa saya amat menantinya? Sungguh perjalanan panjang yang romantis.
Sebelum meresensinya, saya hendak mengucap beberapa hal yang menjadi penyebab saya meresensi karya hebat seorang Sapardi Djoko Damono (SDD). Tepat di hari Minggu, 14 Juni 2015, akhirnya karya tersebut bisa saya nikmati kehadirannya. Judul yang sama dalam kemasan yang amat berbeda, sebuah puisi dan sebuah novel. Sebuah puisi yang sudah lama mengerak dalam ingatan para penikmat sastra. Tiga bait puisi yang berjudul “Hujan Bulan Juni” ini menjadi judul utama dalam buku sepilihan sajak karya SDD yang di cetak oleh PT Gramedia, Juni 2013 lalu. Meskipun puisi tersebut telah dinikmati sejak tahun 1989, tahun ketika SDD menciptakannya. Sejak kemunculan puisi tersebut karya dalam bentuk lain bermunculan dari dari tangan kreatif penikmat sastra mulai dari lagu atau musikalisasi puisi dengan berbagai aransemen kemudian sampai proses kreatif menjadi sebuah komik. Kini, di tangan SDD sendirilah karya puisi tersebut beralih wahana menjadi sebuah novel. Dan nanti sebuah film ditayangkan. Saya pun menanti kehadirannya.
Saya sebut saja perjalanan itu semacam ulat sutra yang berhasil menjadi kupu-kupu cantik yang terbang dengan sayap indahnya, siapa pun terpesona.
Tujuh puluh lima tahun (75 tahun) adalah hidup yang cerdas untuk tetap menelurkan karya. Karya terbaik bagi kecintaan terhadap kata-kata.


Judul                           : Hujan Bulan Juni (Novel)
Penulis                         : Sapardi Djoko Damono
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit                : Cetakan pertama Juni 2015
Tebal Halaman            : 135 (Seratus Tiga Puluh Lima) Halaman
Harga                          : Rp. 50.000,00 (Lima Puluh Ribu Rupiah)
Sinopsis                       :
Kehadiran puisi dengan judul “Hujan Bulan Juni” karya seorang sastrawan besar Indonesia yang sangat produktif dari zaman ke zaman ini memang memiliki pengaruh yang cukup besar, semenjak tahun 1989 hingga kini banyak menginspirasi untuk menghasilkan karya dalam bentuk wahana lain, mulai dalam bentuk musikalisasi puisi, kemudian komik, dan kemungkinan ke depan akan menjadi film seperti yang dilansir sendiri oleh SDD. Kini puisi “Hujan Bulan Juni” beralih wahana menjadi novel. SDD mengungkapkan kisah tentang hubungan manusia yang mewarnai perbedaan budaya dan agama, tentang bagaimana kedua tokohnya yakni Sarwono seorang lelaki Jawa Tulen dan Pingkan seorang perempuan campuran Menado dan Jawa menyiasati lingkungan sosial dan memberi makna atas kasih sayang. Perbedaan agama tidak menjadi perdebatan dalam kehidupan mereka, justru saling menghargai antar keduanya. Tokoh Sarwono dalam novel ini saya kira memiliki banyak kesamaan dalam diri SDD, bahkan saya kira Sarwono adalah SDD yang di fiksikan.
Hal menarik yang saya temukan dalam novel ini terdapat pada halaman 44, seorang SDD menerjemahkan bagaimana arti “Kasih Sayang” tanpa koma tanpa titik dalam 230 kata, saya kira ini cukup untuk menggambarkan bagaimana novel ini berkisah.
“Baru kali ini mereka menyadari bahwa kasih sayang mengungguli segalanya menembus apa pun yang tidak bisa dipahami oleh pengertian pinggir jalan tidak akan bisa dicapai tidak bisa dibincangkan dengan teori metode dan pendekatan apa pun bahwa kasih sayang ternyata tidak cabul ternyata terasa semakin pesat lajunya walau waktu yang selalu tergesa-gesa terasa berhenti ternyata bukan godaan untuk mendesah dan terengah bahwa kasih sayang ternyata tidak pernah menawarkan kesempatan untuk tanya-jawab yang tak berkesudahan bahwa kasih sayang ternyata sebuah ruang kedap suara yang merayakan senyap sebagai satu-satunya harap yang semakin khusyuk pelukannya kalau senyap yang tanpa aroma tanpa warna tanpa sosok tanpa aksesori mendadak terbanting di lantai kemudian melesat terpental ke langit-langit untuk turun perlahan sangat perlahan memeluk dan membujuk mereka berdua agar tidak usah mengatakan apatah kata pun sedesis huruf pun sebab kata cenderung berada di luar kasih sayang dan kasih sayang tidak bisa disidik dengan kata sekalipun berupa sabda bahwa ketika berpelukan mereka merasa seperti dituntun untuk sepenuhnya mempercayai bahwa kasih sayang tak lain adalah Kitab Suci yang tanpa kertas tanpa aksara tanpa surah dan ayat tanpa parabel tanpa kanon tanpa nubuat tanpa jalan tanpa karma tanpa gerak tanpa siut yang membujuk mereka membayangkan dua ekor kuda jantan dan betina yang saling menggosok-gosokkan lehernya di perbukitan ilalang yang menjanjikan tempat bertengger bagi butir-butir embun terakhir kalau cahaya matahari pertama bersinggungan dengan cakrawala bahwa kasih sayang adalah Kitab Suci yang tersirat.
Bahwa kasih sayang beriman pada senyap.”

Kelebihan, bukan untuk mengurangi
Wahana yang berbeda menjadikan keduanya berbeda, puisi dan novel memang berbeda, bukan? Judul keduanya yang sama membuat keduanya serupa tapi tak sama.
SDD pun mengakui bahwa novel “Hujan Bulan Juni” merupakan interpretasi dari puisi “Hujan Bulan Juni yang ditulisnya di tahun 1989.
Puisi ini memang bisa dikatakan sederhana, namun tetap saja romantis, mungkin bisa dikatakan cengeng, tapi bukan cengeng dalam arti yang sempit.

HUJAN BULAN JUNI
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
(1989)
Puisi yang sederhana, namun penuh makna ini tidak semua orang memahaminya begitu saja tanpa sebuah analisis yang mendalam. Namun semua orang dapat mengerti isi cerita dalam sebuah novel karena bahasanya yang jelas serta lugas. Sebuah cerita dapat dinikmati dengan mudah saat membacanya, seolah kita berseluncur di dalamnya, bahkan ikut merasakan nuansa rasa dan suasana di dalamnya. Namun, menikmati puisi perlulah pemahaman dan pengetahuan tentang diksi meskipun puisi sederhana sekalipun tentulah memiliki makna yang tidak sederhana.
Namun kelebihan novel ini tidak sama sekali mengurangi kelebihan puisi, karena keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan daya tarik yang memikat pembaca.
            Kedua buku ini memiliki sampul buku yang menarik. Sampul novel “Hujan Bulan Juni” dibuat sangat sederhana dengan tulisan “Hujan Bulan Juni” yang  luntur terkena hujan di beberapa bagian hurufnya pertanda terkena tetesan air hujan, memunculkan keunikan tersendiri yang ditawarkan, membuat pertanyaan aneh yang terkadang muncul ketika pertama kali melihat sampul buku ini, sampulnya yang memang terkena hujan dan luntur atau memang sengaja dicetak luntur?
            Ketika melihat sampul buku puisi “Hujan Bulan Juni” pun memiliki sampul yang dikatakan cukup sederhana tulisan “Hujan Bulan Juni” dengan dipenuhi tetesan hujan. Namun tulisannya tidak luntur.
            Dalam sampul. Bisa saja saya kaitkan hujan yang turun di buku sepilihan sajak “Hujan Bulan Juni” menyisakkan tetesannya yang membasahi kemudian melunturkan sebagian huruf dalam novel “Hujan Bulan Juni”. Meski terdengar aneh, saya cukup menikmati ikatan keduanya.
Kekurangan, yang tak tersampaikan

            Kisah cinta antara Sarwono dan Pingkan terasa diabaikan kelanjutannya oleh SDD, bisa dikatakan ini sebuah kesengajaan SDD untuk menimbulkan pertanyaan bagi pembaca, sehingga pembaca lah yang menilainya, bagaimana cerita ini pada akhirnya atau dibiarkan dan dipahami sebatas itu. 

Saya telah menjadi pembaca, bukan untuk hanya saya nikmati sendiri tapi turut saya bagi lewat tulisan ini. Karya yang masih hangat, sehangat kopi teman membaca, baru saja terbit pada tanggal 14 Juni lalu. Hangat dan kaya akan diksi-diksi SDD yang terkadang cengeng namun bukan kekanak-kanakkan. Romantis dalam kesederhanaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biografi, Sinopsis dan Unsur Intrinsik "Kalau Tak Untung" Karya Selasih

BiBiografi Tokoh "Selasih" Hj. Sariamin Ismail selain dikenal sebagai seorang sastrawan juga merupakan salah seorang tokoh dan ...