Sepilihan Sajak dan Novel “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono
(SDD) Pemilik Daya Pikat yang Sama Kuatnya
Entah mengapa saya amat menantinya? Sungguh perjalanan panjang yang
romantis.
Sebelum meresensinya, saya hendak mengucap beberapa hal yang
menjadi penyebab saya meresensi karya hebat seorang Sapardi Djoko Damono (SDD).
Tepat di hari Minggu, 14 Juni 2015, akhirnya karya tersebut bisa saya nikmati
kehadirannya. Judul yang sama dalam kemasan yang amat berbeda, sebuah puisi dan
sebuah novel. Sebuah puisi yang sudah lama mengerak dalam ingatan para penikmat
sastra. Tiga bait puisi yang berjudul “Hujan Bulan Juni” ini menjadi judul
utama dalam buku sepilihan sajak karya SDD yang di cetak oleh PT Gramedia, Juni
2013 lalu. Meskipun puisi tersebut telah dinikmati sejak tahun 1989, tahun
ketika SDD menciptakannya. Sejak kemunculan puisi tersebut karya dalam bentuk
lain bermunculan dari dari tangan kreatif penikmat sastra mulai dari lagu atau
musikalisasi puisi dengan berbagai aransemen kemudian sampai proses kreatif
menjadi sebuah komik. Kini, di tangan SDD sendirilah karya puisi tersebut
beralih wahana menjadi sebuah novel. Dan nanti sebuah film ditayangkan. Saya
pun menanti kehadirannya.
Saya sebut saja perjalanan itu semacam ulat sutra yang berhasil
menjadi kupu-kupu cantik yang terbang dengan sayap indahnya, siapa pun
terpesona.
Tujuh puluh lima tahun (75 tahun) adalah hidup yang cerdas untuk
tetap menelurkan karya. Karya terbaik bagi kecintaan terhadap kata-kata.
Judul :
Hujan Bulan Juni (Novel)
Penulis :
Sapardi Djoko Damono
Penerbit :
PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit :
Cetakan pertama Juni 2015
Tebal Halaman : 135
(Seratus Tiga Puluh Lima) Halaman
Harga :
Rp. 50.000,00 (Lima Puluh Ribu Rupiah)
Sinopsis :
Kehadiran puisi dengan judul “Hujan Bulan Juni” karya seorang
sastrawan besar Indonesia yang sangat produktif dari zaman ke zaman ini memang
memiliki pengaruh yang cukup besar, semenjak tahun 1989 hingga kini banyak
menginspirasi untuk menghasilkan karya dalam bentuk wahana lain, mulai dalam
bentuk musikalisasi puisi, kemudian komik, dan kemungkinan ke depan akan
menjadi film seperti yang dilansir sendiri oleh SDD. Kini puisi “Hujan Bulan
Juni” beralih wahana menjadi novel. SDD mengungkapkan kisah tentang hubungan
manusia yang mewarnai perbedaan budaya dan agama, tentang bagaimana kedua
tokohnya yakni Sarwono seorang lelaki Jawa Tulen dan Pingkan seorang perempuan
campuran Menado dan Jawa menyiasati lingkungan sosial dan memberi makna atas
kasih sayang. Perbedaan agama tidak menjadi perdebatan dalam kehidupan mereka,
justru saling menghargai antar keduanya. Tokoh Sarwono dalam novel ini saya
kira memiliki banyak kesamaan dalam diri SDD, bahkan saya kira Sarwono adalah
SDD yang di fiksikan.
Hal menarik yang saya temukan dalam novel ini terdapat pada halaman
44, seorang SDD menerjemahkan bagaimana arti “Kasih Sayang” tanpa koma tanpa
titik dalam 230 kata, saya kira ini cukup untuk menggambarkan bagaimana novel
ini berkisah.
“Baru kali ini mereka menyadari bahwa kasih sayang mengungguli
segalanya menembus apa pun yang tidak bisa dipahami oleh pengertian pinggir
jalan tidak akan bisa dicapai tidak bisa dibincangkan dengan teori metode dan
pendekatan apa pun bahwa kasih sayang ternyata tidak cabul ternyata terasa
semakin pesat lajunya walau waktu yang selalu tergesa-gesa terasa berhenti
ternyata bukan godaan untuk mendesah dan terengah bahwa kasih sayang ternyata
tidak pernah menawarkan kesempatan untuk tanya-jawab yang tak berkesudahan
bahwa kasih sayang ternyata sebuah ruang kedap suara yang merayakan senyap
sebagai satu-satunya harap yang semakin khusyuk pelukannya kalau senyap yang
tanpa aroma tanpa warna tanpa sosok tanpa aksesori mendadak terbanting di
lantai kemudian melesat terpental ke langit-langit untuk turun perlahan sangat
perlahan memeluk dan membujuk mereka berdua agar tidak usah mengatakan apatah
kata pun sedesis huruf pun sebab kata cenderung berada di luar kasih sayang dan
kasih sayang tidak bisa disidik dengan kata sekalipun berupa sabda bahwa ketika
berpelukan mereka merasa seperti dituntun untuk sepenuhnya mempercayai bahwa
kasih sayang tak lain adalah Kitab Suci yang tanpa kertas tanpa aksara tanpa
surah dan ayat tanpa parabel tanpa kanon tanpa nubuat tanpa jalan tanpa karma
tanpa gerak tanpa siut yang membujuk mereka membayangkan dua ekor kuda jantan
dan betina yang saling menggosok-gosokkan lehernya di perbukitan ilalang yang
menjanjikan tempat bertengger bagi butir-butir embun terakhir kalau cahaya matahari
pertama bersinggungan dengan cakrawala bahwa kasih sayang adalah Kitab Suci
yang tersirat.
Bahwa kasih sayang beriman pada senyap.”
Kelebihan, bukan untuk mengurangi
SDD pun mengakui bahwa novel “Hujan Bulan Juni” merupakan
interpretasi dari puisi “Hujan Bulan Juni yang ditulisnya di tahun 1989.
Puisi ini memang bisa dikatakan sederhana, namun tetap saja
romantis, mungkin bisa dikatakan cengeng, tapi bukan cengeng dalam arti yang
sempit.
HUJAN BULAN JUNI
Tak
ada yang lebih tabah
Dari
hujan bulan Juni
Dirahasiakannya
rintik rindunya
Kepada
pohon berbunga itu
Tak
ada yang lebih bijak
Dari
hujan bulan Juni
Dihapusnya
jejak-jejak kakinya
Yang
ragu-ragu di jalan itu
Tak
ada yang lebih arif
Dari
hujan bulan Juni
Dibiarkannya
yang tak terucapkan
Diserap
akar pohon bunga itu
(1989)
Puisi yang sederhana, namun penuh makna ini tidak semua orang
memahaminya begitu saja tanpa sebuah analisis yang mendalam. Namun semua orang
dapat mengerti isi cerita dalam sebuah novel karena bahasanya yang jelas serta
lugas. Sebuah cerita dapat dinikmati dengan mudah saat membacanya, seolah kita
berseluncur di dalamnya, bahkan ikut merasakan nuansa rasa dan suasana di
dalamnya. Namun, menikmati puisi perlulah pemahaman dan pengetahuan tentang
diksi meskipun puisi sederhana sekalipun tentulah memiliki makna yang tidak
sederhana.
Namun kelebihan novel ini tidak sama sekali mengurangi kelebihan
puisi, karena keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan daya tarik yang memikat
pembaca.
Kedua buku ini
memiliki sampul buku yang menarik. Sampul novel “Hujan Bulan Juni” dibuat
sangat sederhana dengan tulisan “Hujan Bulan Juni” yang luntur terkena hujan di beberapa bagian
hurufnya pertanda terkena tetesan air hujan, memunculkan keunikan tersendiri
yang ditawarkan, membuat pertanyaan aneh yang terkadang muncul ketika pertama
kali melihat sampul buku ini, sampulnya yang memang terkena hujan dan luntur
atau memang sengaja dicetak luntur?
Ketika melihat
sampul buku puisi “Hujan Bulan Juni” pun memiliki sampul yang dikatakan cukup
sederhana tulisan “Hujan Bulan Juni” dengan dipenuhi tetesan hujan. Namun
tulisannya tidak luntur.
Dalam sampul. Bisa
saja saya kaitkan hujan yang turun di buku sepilihan sajak “Hujan Bulan Juni”
menyisakkan tetesannya yang membasahi kemudian melunturkan sebagian huruf dalam
novel “Hujan Bulan Juni”. Meski terdengar aneh, saya cukup menikmati ikatan
keduanya.
Kekurangan, yang tak tersampaikan
Kisah cinta antara Sarwono dan Pingkan terasa diabaikan kelanjutannya oleh SDD, bisa
dikatakan ini sebuah kesengajaan SDD untuk menimbulkan pertanyaan bagi pembaca,
sehingga pembaca lah yang menilainya, bagaimana cerita ini pada akhirnya atau
dibiarkan dan dipahami sebatas itu.
Saya telah
menjadi pembaca, bukan untuk hanya saya nikmati sendiri tapi turut saya bagi
lewat tulisan ini. Karya yang masih hangat, sehangat kopi teman membaca, baru
saja terbit pada tanggal 14 Juni lalu. Hangat dan kaya akan diksi-diksi SDD
yang terkadang cengeng namun bukan kekanak-kanakkan. Romantis dalam
kesederhanaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar