Teks Monolog
Aku menangis, tapi bukan karena terluka, bumi dan langit menjadi
saksi atas kelahiranku, dan kalian tertawa, tersenyum bahagia.
Aku yang tumbuh seperti bunga yang kalian sirami setiap hari,
kuharap semerbakku dapat mendamaikanmu ayah-ibu, tapi kadang aku berteriak hujatku
kasar memukul sanubarimu, nakalku, kekanakanku mungkin kadang mengolokmu.
Kuharap kau miliki hamparan maap yang tak terbatas atas khilapku,
dan Tuhan akan memberi hamparan taubat untukku pula.
Ingatkah ketika kita bersama? Tak ada satu detik pun terlewat untuk
mengingatmu, mengingat wajah teduh damaimu ayah-ibu, karena aliran darahmu,
detak jantung yang menghidupkanku, jangan sampai air matamu ayah-ibu berurai dipipi,
jika itu terjadi maka murka lah Tuhan padaku, aku tak mau dikutuk jadi batu.
Ingin aku tumbuh menjadi kebanggaanmu, membalas jasamu yang tak
mungkin bisa kubalas dengan apa pun, meski itu dengan nyawaku.
Aku ingin tua bersamamu. Ada detik yang paling tak kuinginkan,
detik yang mungkin menghidupkanku dalam kematian, aku tak mau kau hilang
ayah-ibu, aku ingin selalu didekatmu, didekap kalian, hingga aku mati dipelukmu
ayah-ibu.
Ciputat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar