Kamis, 08 Oktober 2015

Pendekatan Mimetik dan Pragmatik (Teori Abrams) dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” dan Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah”

Dibuat tahun 2013
Pendekatan Mimetik dan Pragmatik (Teori Abrams)
dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” dan
Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah”

Abstrak
Tulisan ini mencoba menjelaskan pendekatan Abrams yakni pendekatan mimetik dan pragmatik terhadap dua cerpen karya Kuntowijoyo. Persoalan yang diangkat dalam kedua cerpen ini sangat menarik untuk dikaji secara mimetik karena didalamnya memang berkaitan dengan realitas atau kenyataan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula apabila dikaji secara pragmatik, Kuntowijoyo membawa pembaca untuk memahami makna-makna kehidupan yang syarat akan pesan moral dan pendidikan. Kuntowijoyo mencoba mensiasati cerpennya yang mungkin terkesan sederhana dan dilupakan banyak orang dalam kehidupan sehari-sehari, namun ternyata memiliki pesan yang menarik untuk disampaikan. Yakni tokoh kakek yang begitu erat dalam kesahajaan dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga dan Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah, Kuntowijoyo juga memberi kesan mengejutkan yang menarik diakhir cerita dalam kedua cerpennya.

  
Pendahuluan
Prof. Dr. Kuntowijoyo (juga dieja Kuntowidjojo; lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 – meninggal 22 Februari 2005 pada umur 61 tahun) adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia.[1]
Dilarang Mencintai Bunga-Bunga dan Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah karya Kuntowijoyo yang berhasil dibukukan dalam sebuah kumpulan cerpen berjudul Dilarang Mencintai Bunga-Bunga pada Agustus tahun 1992 oleh penerbit Pustaka Firdaus, yang berisi sepuluh cerpen dan dua diantaranya akan dianalisis melalui pendekatan Abrams.
       Cerpen ini merupakan salah satu karya Kuntowijoyo yang turut pula mendapat penghargaan. Dilarang Mencintai Bunga-Bunga yang sebelumnya terbit dalam Sastra Th. VII, No. 3 (1969) dan Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah yang sebelumnya juga terbit dalam Sastra Th. VI, No. 3 (1968). Yang kemudian menjadi pilihan tepat Sunu Wasono untuk membukukan bersama kedelapan cerpen lainnya yang tak kalah menarik. Meski sebenarnya ada lima belas cerpen Kuntowijoyo yang berhasil ditemukan.
Mungkin untuk sebagian orang yang khususnya mereka yang berkecimpung dalam bidang sejarah, mengenal Kuntowijoyo semata-mata sebagai sejarawan, peneliti, atau pakar gerilyawan Moro di Filifina, karena memang latar belakang pendidikan Kuntowijoyo pun adalah lulusan sarjana sejarah Universitas Gadjah Mada pada tahun 1969. Hal ini tentu wajar saja, karena kini ia memumpunkan diri pada bidang penelitian sejarah. Akan tetapi bagi mereka yang menekuni sastra, pertama-tama akan mengenal Kuntowijoyo sebagai sastrawan, yang karyanya layak diperhitungkan.
Kedua cerpen Kuntowijoyo yang bertemakan serupa yakni apabila dicermati bahwa cara ia mensiasati masalah cukup unik, misalnya terlihat dalam pemilihan atau penentuan tokoh-tokoh yang bermain dalam cerpennya. Ada kecenderungan untuk menampilkan tokoh seorang kakek dan seorang kanak-kanak. Seperti cerpennya berjudul Dilarang Mencintai Bunga-Bunga dan Gerobak Itu Berhenti di Muka Rumah. Kakek ini biasanya dilukiskan sebagai orang yang aneh yang dipandang oleh orang sekelilingnya dengan penuh prasangka. Akan tetapi oleh kanak-kanak si kakek tersebut dianggap sebagai orang yang baik, halus, lembut dan bijaksana, karena mereka (kakek dan kanak-kanak) dapat berkomunikasi dan memiliki hubungan batin yang kuat.
Dalam kesederhanaan cerita itulah Kuntowijoyo terkesan ringan membawa pembaca untuk membaca kehidupan sekitar yang banyak dengan pemahaman yang terkadang terasa kurang adil bagi para kaum manula, dimana mereka dianggap kurang penting dibandingkan kaum muda yang masih bugar. Padahal pada kenyataannya kaum manula itulah yang telah begitu mapan, jauh memiliki pengalaman hidup yang dapat memberi petuah yang baik tentang kehidupan yang penuh pergulatan. Dan dalam hal ini Kuntowijoyo menghadirkan sisi polos dari seorang anak kecil yang dapat merasakan kedamaian dari sosok seorang kakek atau manula itu sendiri. Dan sisi demikianlah yang mendorong untuk menganalisisnya melalui pendekatan Abrams.


Sekilas Tentang Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga  dan Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah
Dalam cerpennya yang berjudul “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”. Diceritakan bahwa sebuah keluarga yang sebelumnya tinggal dilingkungan dusun yang sempit, akhirnya bisa dipindahakan ke kota melalui tahap permohonan bertahun. Diceritakan tokoh aku adalah seorang anak lelaki bernama Buyung yang ramah dan lugu yang dalam hatinya dipenuhi keragu-raguan dan kecemasan. Dia memiki seorang ayah yang pekerja keras, tubuhnya kekar, kuat dan berotot dan tidak suka bergaul dengan masyarakat, ibu yang ramah dan senang bergaul dengan tetangga juga tidak banyak yang bisa dilakukan selain menyuruh Buyung untuk mengikuti nrimo terhadap apa yang dikehendaki ayahnya. Rumah mereka berdekatan dengan rumah kakek yang dianggap orang-orang sebagai kakek keramat dan misterius, sehingga tidak ada satu anak pun yang berani menemui kakek tersebut, bahkan mereka merasa takut. Tetapi justru anak laki-laki itu ingin mengetahui lebih banyak tentang kakek, dia pun mencoba menyelidiki keberadaan kakek dengan naik pohon kates pekarangan rumahnya yang diatasnya ia pun bisa leluasa melihat pekarangan rumah kakek yang dipenuhi bermacam bunga. Meski setelah beberapa kali memantau tak juga kakek dapat ditemuinya. Ketika ia berhasil berkenalan dengan kakek, ternyata pribadi kakek amat menyenangkan. Sejak itu mereka menjadi akrab dan terlibat pembicaraan “filosofis” yang berarti dalam takaran normal hal itu kurang wajar. Dalam perkenalannya dengan kakek, si anak laki-laki memperoleh kesenangan baru yaitu bunga.
Sementara kakek mengajarkan anak untuk mencintai bunga, belajar ketenangan jiwa seperti bunga yang tumbuh. Indah mewarnai kehidupan. Bapak selalu membuang bunga yang diberikan kakek. Karena itu, si anak menjadi tertekan. Bapak mengajarkan bahwa laki-laki tidak pantas menyenangi bunga, karena bunga hanya untuk perempuan, sedangkan anak laki-laki harus menceburkan diri dalam kerja.
Setelah melalui proses yang lama, akhirnya si anak dapat mendamaikan dua pandangan itu. Ia tetap mencintai bunga sebagai lambang kedamaian dan kebersihan jiwa dan sebagai lelaki perlu bekerja yaitu sebagai kegiatan yang sifatnya duniawi.
Umumnya cerpen-cerpen Kuntowijoyo cukup “panjang”. Ada kecenderungan berbelit dalam mendeskripsikan peristiwa atau perasaan tokoh. Namun, dari kesan berbelit itu kadang-kadang muncul kesan adanya pengulang-ulangan lukisan perasaan tokoh atau peristiwa. Sementara itu, gerak plot ke depan (maju) terus; hampir-hampir tidak ada flashback sama sekali. Hal ini mengesankan bahwa tempo cerita serasa lamban. Meskipun begitu, kadang-kadang Kuntowijoyo menyediakan kejutan pada penutup (akhir) cerita. Dan ini merupakan daya pikat tersendiri. Seperti dalam cerpen yang berjudul “Gerobak itu  Berhenti di Muka Rumah”. Dalam cerpen ini ada hubungan kakek dan bayi. Sebuah keluarga yang baru saja pindah ke sebuah kampung yang terpencil, yang kemudian menyewa rumah di pinggir jalan. Keluarga mereka merasa terganggu oleh bunyi kelontang gerobak yang dikemudikan seorang kakek sehabis bekerja yang muatannya adalah genteng, kayu, arang, besi tua dan kadang batu arang untuk pengecoran baja. Gerobak itu selalu lewat pada malam hari sehingga mereka terbangun; yang lebih menyedihkan lagi bayi mereka sakit. Maka ibu si bayi pun semakin hari semakin kesal terhadap si kakek dan menggerutu suaminya untuk menghampiri kakek dan menceritakan perihal kebisingan yang berasal dari gerobaknya yang menjadi penyebab anaknya menjadi sakit, meski tetangga lain tidak ada yang merasa terganggu oleh suara berisik gerobak itu, mungkin karena semenjak gerobak itu selalu melewati jalanan kampung tengah malam jadi kampung menjadi aman. Akhirnya ayah si bayi pun memberanikan diri menyongsong gerobak dimuka rumah, anehnya si bayi jadi tidak menangis seperti malam-malam sebelumnya. Berangsur-angsur bayi itu pulih kesehatannya, karena selalu menyongsong si kakek, segeralah mereka menjadi akrab. Ketika mereka menjadi akrab, ibu (si anak) pun mengubah sikapnya menajdi baik pada kakek. Mereka sekeluarga di waktu hari libur saat kakek tidak sedang bekerja, mereka pun berkunjung ke rumah kakek. Saat tengah malam ketika si bayi dan ayahnya menyongsong kakek di muka rumah, kakek pun selalu menyempatkan memberikan jenis-jenis makanan untuk si bayi yang sudah dianggapnya sebagai cucu. Ayah si bayi pernah menyarankan untuk membeli ban oto kepada si kakek agar gerobaknya mampu berjalan lebih cepat dan ringan dari biasanya. Namun, ketika keakraban itu terbina, suatu malam kakek itu meninggal di atas gerobaknya yang tepat berhenti di muka rumah keluarga itu. Si kakek tergeletak dengan tertutup sarung disampingnya tergeletak ban oto.


Pendekatan Mimetik dan Pragmatik
Pendekatan sastra menurut Abrams bisa diklasifikasika menjadi empat pendekatan yakni pendekatan Ekspersif, pendekatan Objektif, pendekatan Mimetik dan pendekatan Pragmatik.
       Namun, yang akan dibahas kali ini adalah pendekatan Mimetik dan Pragmatik. Pendekatan Mimetik adalah pendekatan yang mengkaji karya sastra berkaitan dengan realitas atau kenyataan, sedangkan pendekatan Pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan, moral, agama atau tujuan lainnya.

Pembahasan
       Cerita Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, yang juga dipilih sebagai judul kumpulan cerpen Kuntowijoyo, dalam cerpen ini seorang anak laki-laki dilarang ayahnya untuk menyenangi bunga, karena menurutnya anak laki-laki harus menyenangi kerja dan bergumul bersama pekerjaan. Pada realitasnya dalam kehidupan seringkali gender seseorang menjadi beban terhadap apa yang harus dikerjakannya dalam hidup dan menjadi beban yang sepenuhnya harus diikuti. Aturan hidup tentang sebuah keselarasan itu memang benar adanya, meski seharusnya tidak melupakan kodrat keinginan terhadap keindahan-keindahan dalam kehidupan, karena mencintai sesuatu sebagai pandangan sederhana terhadap sesuatu keindahan yang dilambangkan oleh sesuatu yang indah seperti bunga, karena setiap orang memiliki dorongan menyenangi setiap keindahan dalam hal ini objeknya adalah bunga. Sosok kakek yang ditampikan Kuntowijoyo dalam cerpen ini sangat bersahaja, mencintai bunga dan ketenangan, sosok kakek ini digambarkan tinggal sendiri dalam sebuah rumah, jauh dari anak dan cucu. Begitulah gambaran tersebut, jelas potret demikian menjadi sisi yang jika disoroti nampak jelas banyak para orang tua yang sudah menginjak usia manula pada realitasnya ditinggal anaknya yang sudah berkeluarga dan pindah ke kota, sedang kakek itu tinggal sendiri dikampung menghabiskan sisa hidupnya dengan kesepian yang tidak dimengerti orang kebanyakan, kebijakan-kebijakan dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan perenungan yang akhirnya menjadi bukti atas kesejatian dirinya yang ditinggalkan. Sisi seorang anak digambarkan oleh serba keingin tahuannya akan sesuatu, memang demikian pula dalam realitasnya, pemikiran-pemikiran sederhananya, keluguannya dalam memandang sesuatu hal. Begitulah memang gambaran realitas sederhana yang ditampilkan Kuntowijoyo.
Begitu pula gambaran realitas (mimetik) yang ditonjolkan dalam cerpen Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah, tidak jauh berbeda sosok kakek digambarkan tinggal dipojok kampung, hidup sendiri dengan pekerjaan yang terkadang dianggap mengganggu oleh sebagian orang.
Gambaran pragmatik yang ditonjolkan Kuntowijoyo dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Dalam ceritanya, terasa dialog antara Kakek dan sang anak yang menjadi tidak ringan lagi, bahkan melampaui takaran nalar sang bocah, misalnya saat mereka berdialog untuk mencari kesempurnaan hidup: “Rumah ini”, kata Kakek, “sebagian kecil dari sorga” (Hlm.9). Atau ungkapan ini: “Katakanlah, Cucu. Apakah yang lebih baik dari ketenangan jiwa?” sang bocah yang dikisahkan masih menyukai layang-layang itu pun menjawab, “Tidak ada Kakek! Tidak ada yang lebih dari itu! (Hlm.12)
Dikisahkan kemudian Kakek menuntun bocah menikmati bunga-bunga: “Segala yang mengendap. Cobalah lihat, Cucuku. Bunga-bunga di atas air ini melambangkan ketentraman, ketenangan dan keteguhan jiwa. Di luar matahari membakar. Hilir mudik kendaraan”. Demikian bunyi ajaran Kakek kepada bocah, yang tentu maksudnya menyodorkan keseimbangan.
Demikianlah dalam cerpen ini Kuntowijoyo berusaha menyajikan cerita sederhana yang syarat akan makna yang penulis kebanyakan tidak pernah mencoba untuk menonjolkan sisi demikian karena menganggap hal demikian itu terlalu sederhana. Cerpen ini memberi pesan moral yang besar, bahwa banyak pula setiap orang terlalu sibuk tentang urusan duniawinya, keangkuhan dan kesombongan diri dalam menghadapi kehidupan namun melupakan arti penting sebuah ketenangan dan ketentraman jiwa.
Nampaknya setting yang dibangun Kuntowijoyo sangat diperhitungkannya untuk dapat membangun watak-watak pelaku-pelakunya. Watak Ayah yang keras dan dinamis diwakilkan oleh setting kerjanya sebagai orang teknik, watak Kakek diwakili oleh setting rumahnya yang lindung dan dianggap angker oleh anak-anak, dan bunga-bunganya yang semerbak harum. Kakek adalah wakil kelemah lembutan, dunia wanita. Sedang “Aku” adalah orang yang sedang dalam masa tak menentu, tertarik ke kiri dan ke kanan, dan itu semua sangat cocok dengan analisa watak. Sehingga cerpen ini walaupun panjang tetap mengasyikkan dan tidak pernah lelah membacanya.[2]
Begitu pula gambaran pragmatik dalam cerpen Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah, Kuntowijoyo berusaha menggambarkan bagaimana kesabaran seorang suami yang mencoba member pengertian kepada istinya yang dilanda gejolak kemarahan, contohnya dalam dialog: “Tidak baik bertengkar dengan tetangga, Ima”, saya menyabarkan. “Ingat siapakah kita ini. Apa pekerjaan suamimu”. (Hlm 131)
Pengertian semacam ini jelas menggambarkan sikap positif, pesan moral yang disalurkan melalui sosok wibawa seorang lelaki yang berpendidikan, bahwa menilai sesuatu tidak dengan kenegatifan terhadap orang lain.
             Atau pada dialog: “Kau istri guru, Ima”. Dan “Cobalah. Jangan sia-siakan kesempatan kalau kau terbangun malam begini, alangkah baiknya kau mensyukuri nikmat Tuhan yang telah dilimpahkan-Nya”. (Hlm 134). Sekali lagi pandangan positif itu dihadirkan dalam sosok seorang guru sebagai pesan nilai pendidikan, bahwa seorang guru haruslah bijaksana dalam bertindak, bagaimana Kuntowijoyo juga menyampaikan pesan agama dalam dialog tersebut, bahwa memanfaatkan hal yang kurang baik sebagai sebuah pelajaran untuk diambil manfaatnya dengan mengisi waktu tersebut dengan beribadah.
             Gambaran ramah sosok kakek pun ditunjukan dalam dialog: “Ajaklah si Kelik itu ke rumah. Aku punya anak sapi” (Hlm 139-140) atau “Datanglah kerumah saya. Saya tinggal di ujung timur jalan ini, terus saja. Yang ada gerobaknya. Anak ini dibawa” (Hlm 142) digambarkan sosok kakek yang ramah, menyenangi anak-anak, yang penuh perhatian.



Penutup
             Demikianlah analisis cerpen Dilarang Mencintai Bungan-Bunga dan Gerobak Itu Berhenti di Muka Rumah, dua cerpen yang tergabung dalam kumpulan cerpen yang berjudul Dilarang Mencintai Bunga-Bunga karya Kuntowijoyo yang berhasil dikumpulkan ole Sunu Wasono. Cerpen yang menggambarkan keakraban tokoh seorang kakek dan seorang anak yang keduanya memiki hubungan batin yang kuat. Yang mampu memberikan makna kehidupan yang seringkali dianggap sederhana dan tidak penting dalam kehidupan. Namun, mampu memberikan pesan moral dan pendidikan bagi pembaca. Memberikan pandangan mengenai filsafat hidup yang membuat pembaca betah membacanya berlama-lama.


Daftar Pustaka
Kuntowijoyo. Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1992.
       Wikipedia, Biografi Kuntowijoyo, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kuntowijoyo, Diunggah pada (19-12-13, pukul 22:52 WIB)
Korrie Layun Rampan, Kuntowijoyo “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Pelita hal.5 kolom 5, diakses dari http://nayapanda.blogspot.com/2012/04/pendekatan-pragmatik-dilarang-mencintai.html.  Diunggah pada (21-12-13, pukul 3:17 WIB)











 



[2] Korrie Layun Rampan, Kuntowijoyo “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Pelita hal.5 kolom 5, diakses dari http://nayapanda.blogspot.com/2012/04/pendekatan-pragmatik-dilarang-mencintai.html. (21-12-13, pukul 3:17 WIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Biografi, Sinopsis dan Unsur Intrinsik "Kalau Tak Untung" Karya Selasih

BiBiografi Tokoh "Selasih" Hj. Sariamin Ismail selain dikenal sebagai seorang sastrawan juga merupakan salah seorang tokoh dan ...