Dibuat tahun 2013
Pendekatan Mimetik dan Pragmatik (Teori Abrams)
dalam cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” dan
Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah”
Abstrak
Tulisan
ini mencoba menjelaskan pendekatan Abrams yakni pendekatan mimetik dan
pragmatik terhadap dua cerpen karya Kuntowijoyo. Persoalan yang diangkat dalam
kedua cerpen ini sangat menarik untuk dikaji secara mimetik karena didalamnya
memang berkaitan dengan realitas atau kenyataan yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Demikian pula apabila dikaji secara pragmatik, Kuntowijoyo membawa
pembaca untuk memahami makna-makna kehidupan yang syarat akan pesan moral dan
pendidikan. Kuntowijoyo mencoba mensiasati cerpennya yang mungkin terkesan
sederhana dan dilupakan banyak orang dalam kehidupan sehari-sehari, namun
ternyata memiliki pesan yang menarik untuk disampaikan. Yakni tokoh kakek yang
begitu erat dalam kesahajaan dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga
dan Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah, Kuntowijoyo juga memberi kesan
mengejutkan yang menarik diakhir cerita dalam kedua cerpennya.
Pendahuluan
Prof. Dr. Kuntowijoyo (juga dieja Kuntowidjojo; lahir di Sanden, Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 – meninggal 22 Februari 2005 pada umur 61 tahun) adalah seorang budayawan, sastrawan, dan sejarawan dari Indonesia.[1]
Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga dan Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah karya Kuntowijoyo yang
berhasil dibukukan dalam sebuah kumpulan cerpen berjudul Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga pada Agustus tahun 1992 oleh penerbit Pustaka Firdaus, yang
berisi sepuluh cerpen dan dua diantaranya akan dianalisis melalui pendekatan
Abrams.
Cerpen
ini merupakan salah satu karya Kuntowijoyo yang turut pula mendapat
penghargaan. Dilarang Mencintai Bunga-Bunga yang sebelumnya terbit dalam
Sastra Th. VII, No. 3 (1969) dan Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah yang
sebelumnya juga terbit dalam Sastra Th. VI, No. 3 (1968). Yang kemudian menjadi
pilihan tepat Sunu Wasono untuk membukukan bersama kedelapan cerpen lainnya
yang tak kalah menarik. Meski sebenarnya ada lima belas cerpen Kuntowijoyo yang berhasil
ditemukan.
Mungkin untuk sebagian orang yang khususnya
mereka yang berkecimpung dalam bidang sejarah, mengenal Kuntowijoyo semata-mata
sebagai sejarawan, peneliti, atau pakar gerilyawan Moro di Filifina, karena memang latar belakang pendidikan Kuntowijoyo pun adalah
lulusan sarjana sejarah Universitas Gadjah Mada pada tahun 1969. Hal
ini tentu wajar saja, karena kini ia memumpunkan diri pada bidang penelitian
sejarah. Akan tetapi bagi mereka yang menekuni sastra, pertama-tama akan
mengenal Kuntowijoyo sebagai sastrawan, yang karyanya layak diperhitungkan.
Kedua cerpen Kuntowijoyo yang
bertemakan serupa yakni apabila dicermati bahwa cara ia mensiasati masalah
cukup unik, misalnya terlihat dalam pemilihan atau penentuan tokoh-tokoh yang
bermain dalam cerpennya. Ada kecenderungan untuk menampilkan tokoh seorang
kakek dan seorang kanak-kanak. Seperti cerpennya berjudul Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga dan Gerobak Itu Berhenti di Muka Rumah. Kakek ini
biasanya dilukiskan sebagai orang yang aneh yang dipandang oleh orang
sekelilingnya dengan penuh prasangka. Akan tetapi oleh kanak-kanak si kakek
tersebut dianggap sebagai orang yang baik, halus, lembut dan bijaksana, karena
mereka (kakek dan kanak-kanak) dapat berkomunikasi dan memiliki hubungan batin
yang kuat.
Dalam kesederhanaan cerita itulah
Kuntowijoyo terkesan ringan membawa pembaca untuk membaca kehidupan sekitar
yang banyak dengan pemahaman yang terkadang terasa kurang adil bagi para kaum
manula, dimana mereka dianggap kurang penting dibandingkan kaum muda yang masih
bugar. Padahal pada kenyataannya kaum manula itulah yang telah begitu mapan,
jauh memiliki pengalaman hidup yang dapat memberi petuah yang baik tentang
kehidupan yang penuh pergulatan. Dan dalam hal ini Kuntowijoyo menghadirkan
sisi polos dari seorang anak kecil yang dapat merasakan kedamaian dari sosok
seorang kakek atau manula itu sendiri. Dan sisi demikianlah yang mendorong
untuk menganalisisnya melalui pendekatan Abrams.
Sekilas Tentang Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga dan Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah
Dalam cerpennya yang berjudul
“Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”. Diceritakan bahwa sebuah keluarga yang
sebelumnya tinggal dilingkungan dusun yang sempit, akhirnya bisa dipindahakan
ke kota melalui tahap permohonan bertahun. Diceritakan tokoh aku adalah seorang
anak lelaki bernama Buyung yang ramah dan lugu yang dalam hatinya dipenuhi
keragu-raguan dan kecemasan. Dia memiki seorang ayah yang pekerja keras,
tubuhnya kekar, kuat dan berotot dan tidak suka bergaul dengan masyarakat, ibu
yang ramah dan senang bergaul dengan tetangga juga tidak banyak yang bisa
dilakukan selain menyuruh Buyung untuk mengikuti nrimo terhadap apa yang
dikehendaki ayahnya. Rumah mereka berdekatan dengan rumah kakek yang dianggap
orang-orang sebagai kakek keramat dan misterius, sehingga tidak ada satu anak
pun yang berani menemui kakek tersebut, bahkan mereka merasa takut. Tetapi justru anak
laki-laki itu ingin mengetahui lebih banyak tentang kakek, dia pun mencoba
menyelidiki keberadaan kakek dengan naik pohon kates pekarangan rumahnya yang
diatasnya ia pun bisa leluasa melihat pekarangan rumah kakek yang dipenuhi
bermacam bunga. Meski setelah beberapa kali memantau tak juga kakek dapat
ditemuinya. Ketika ia berhasil berkenalan dengan kakek, ternyata pribadi kakek
amat menyenangkan. Sejak itu mereka menjadi akrab dan terlibat pembicaraan
“filosofis” yang berarti dalam takaran normal hal itu kurang wajar. Dalam perkenalannya
dengan kakek, si anak laki-laki memperoleh kesenangan baru yaitu bunga.
Sementara kakek mengajarkan anak
untuk mencintai bunga, belajar ketenangan jiwa seperti bunga yang tumbuh. Indah
mewarnai kehidupan. Bapak selalu membuang bunga yang diberikan kakek. Karena
itu, si anak menjadi tertekan. Bapak mengajarkan bahwa laki-laki tidak pantas
menyenangi bunga, karena bunga hanya untuk perempuan, sedangkan anak laki-laki
harus menceburkan diri dalam kerja.
Setelah melalui proses yang lama,
akhirnya si anak dapat mendamaikan dua pandangan itu. Ia tetap mencintai bunga
sebagai lambang kedamaian dan kebersihan jiwa dan sebagai lelaki perlu bekerja yaitu
sebagai kegiatan yang sifatnya duniawi.
Umumnya cerpen-cerpen Kuntowijoyo cukup
“panjang”. Ada kecenderungan berbelit dalam mendeskripsikan peristiwa atau
perasaan tokoh. Namun, dari kesan berbelit itu kadang-kadang muncul kesan
adanya pengulang-ulangan lukisan perasaan tokoh atau peristiwa. Sementara itu,
gerak plot ke depan (maju) terus; hampir-hampir tidak ada flashback sama
sekali. Hal ini mengesankan bahwa tempo cerita serasa lamban. Meskipun begitu,
kadang-kadang Kuntowijoyo menyediakan kejutan pada penutup (akhir) cerita. Dan
ini merupakan daya pikat tersendiri. Seperti dalam cerpen yang berjudul
“Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah”.
Dalam cerpen ini ada hubungan kakek dan bayi. Sebuah keluarga yang baru saja
pindah ke sebuah kampung yang terpencil, yang kemudian menyewa rumah di pinggir
jalan. Keluarga mereka merasa terganggu oleh bunyi kelontang gerobak yang
dikemudikan seorang kakek sehabis bekerja yang muatannya adalah genteng, kayu,
arang, besi tua dan kadang batu arang untuk pengecoran baja. Gerobak itu selalu
lewat pada malam hari sehingga mereka terbangun; yang lebih menyedihkan lagi
bayi mereka sakit. Maka ibu si bayi pun semakin hari semakin kesal terhadap si
kakek dan menggerutu suaminya untuk menghampiri kakek dan menceritakan perihal
kebisingan yang berasal dari gerobaknya yang menjadi penyebab anaknya menjadi
sakit, meski tetangga lain tidak ada yang merasa terganggu oleh suara berisik
gerobak itu, mungkin karena semenjak gerobak itu selalu melewati jalanan
kampung tengah malam jadi kampung menjadi aman. Akhirnya ayah si bayi pun
memberanikan diri menyongsong gerobak dimuka
rumah, anehnya si bayi jadi tidak menangis seperti malam-malam sebelumnya.
Berangsur-angsur bayi itu pulih kesehatannya, karena selalu menyongsong si
kakek, segeralah mereka menjadi akrab. Ketika mereka menjadi akrab, ibu (si anak) pun mengubah sikapnya menajdi
baik pada kakek. Mereka sekeluarga di waktu hari libur saat kakek tidak sedang
bekerja, mereka pun berkunjung ke rumah kakek. Saat tengah malam ketika si bayi
dan ayahnya menyongsong kakek di muka rumah, kakek pun selalu menyempatkan
memberikan jenis-jenis makanan untuk si bayi yang sudah dianggapnya sebagai
cucu. Ayah si bayi pernah menyarankan untuk membeli ban oto kepada si kakek
agar gerobaknya mampu berjalan lebih cepat dan ringan dari biasanya. Namun, ketika
keakraban itu terbina, suatu malam kakek itu meninggal di atas gerobaknya yang
tepat berhenti di muka rumah keluarga itu. Si kakek tergeletak dengan tertutup sarung disampingnya
tergeletak ban oto.
Pendekatan Mimetik dan Pragmatik
Pendekatan sastra menurut Abrams
bisa diklasifikasika menjadi empat pendekatan yakni pendekatan Ekspersif,
pendekatan Objektif, pendekatan Mimetik dan pendekatan Pragmatik.
Namun, yang akan
dibahas kali ini adalah pendekatan Mimetik dan Pragmatik. Pendekatan Mimetik
adalah pendekatan yang mengkaji karya sastra berkaitan dengan realitas atau
kenyataan, sedangkan pendekatan Pragmatik adalah pendekatan yang memandang
karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca,
seperti tujuan pendidikan, moral, agama atau tujuan lainnya.
Pembahasan
Cerita Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga, yang juga dipilih sebagai judul kumpulan cerpen
Kuntowijoyo, dalam cerpen ini seorang anak laki-laki dilarang ayahnya untuk
menyenangi bunga, karena menurutnya anak laki-laki harus menyenangi kerja dan
bergumul bersama pekerjaan. Pada realitasnya dalam kehidupan seringkali gender
seseorang menjadi beban terhadap apa yang harus dikerjakannya dalam hidup dan
menjadi beban yang sepenuhnya harus diikuti. Aturan hidup tentang sebuah
keselarasan itu memang benar adanya, meski seharusnya tidak melupakan kodrat
keinginan terhadap keindahan-keindahan dalam kehidupan, karena mencintai sesuatu
sebagai pandangan sederhana terhadap sesuatu keindahan yang dilambangkan oleh
sesuatu yang indah seperti bunga, karena setiap orang memiliki dorongan
menyenangi setiap keindahan dalam hal ini objeknya adalah bunga. Sosok kakek
yang ditampikan Kuntowijoyo dalam cerpen ini sangat bersahaja, mencintai bunga
dan ketenangan, sosok kakek ini digambarkan tinggal sendiri dalam sebuah rumah,
jauh dari anak dan cucu. Begitulah gambaran tersebut, jelas potret demikian
menjadi sisi yang jika disoroti nampak jelas banyak para orang tua yang sudah
menginjak usia manula pada realitasnya ditinggal anaknya yang sudah berkeluarga
dan pindah ke kota, sedang kakek itu tinggal sendiri dikampung menghabiskan
sisa hidupnya dengan kesepian yang tidak dimengerti orang kebanyakan,
kebijakan-kebijakan dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan perenungan
yang akhirnya menjadi bukti atas kesejatian dirinya yang ditinggalkan. Sisi
seorang anak digambarkan oleh serba keingin tahuannya akan sesuatu, memang
demikian pula dalam realitasnya, pemikiran-pemikiran sederhananya, keluguannya
dalam memandang sesuatu hal. Begitulah memang gambaran realitas sederhana yang
ditampilkan Kuntowijoyo.
Begitu pula gambaran realitas
(mimetik) yang ditonjolkan dalam cerpen Gerobak itu Berhenti di Muka Rumah, tidak
jauh berbeda sosok kakek digambarkan tinggal dipojok kampung, hidup sendiri
dengan pekerjaan yang terkadang dianggap mengganggu oleh sebagian orang.
Gambaran pragmatik yang ditonjolkan
Kuntowijoyo dalam cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Dalam
ceritanya, terasa dialog antara Kakek dan sang anak yang menjadi tidak ringan
lagi, bahkan melampaui takaran nalar sang bocah, misalnya saat mereka berdialog
untuk mencari kesempurnaan hidup: “Rumah ini”, kata Kakek, “sebagian
kecil dari sorga” (Hlm.9). Atau ungkapan ini: “Katakanlah, Cucu. Apakah
yang lebih baik dari ketenangan jiwa?” sang bocah yang dikisahkan masih
menyukai
layang-layang itu pun menjawab, “Tidak ada Kakek! Tidak ada yang lebih dari
itu! (Hlm.12)
Dikisahkan kemudian Kakek menuntun
bocah menikmati bunga-bunga: “Segala yang mengendap. Cobalah lihat, Cucuku.
Bunga-bunga di atas air ini melambangkan ketentraman, ketenangan dan keteguhan
jiwa. Di luar matahari membakar. Hilir mudik kendaraan”. Demikian bunyi
ajaran Kakek kepada bocah, yang tentu maksudnya menyodorkan keseimbangan.
Demikianlah dalam cerpen ini
Kuntowijoyo berusaha menyajikan cerita sederhana yang syarat akan makna yang
penulis kebanyakan tidak pernah mencoba untuk menonjolkan sisi demikian karena
menganggap hal demikian itu terlalu sederhana. Cerpen ini memberi pesan moral
yang besar, bahwa banyak pula setiap orang terlalu sibuk tentang urusan
duniawinya, keangkuhan dan kesombongan diri dalam menghadapi kehidupan namun
melupakan arti penting sebuah ketenangan dan ketentraman jiwa.
Nampaknya setting yang dibangun
Kuntowijoyo sangat diperhitungkannya untuk dapat membangun watak-watak
pelaku-pelakunya. Watak Ayah yang keras dan dinamis diwakilkan oleh setting
kerjanya sebagai orang teknik, watak Kakek diwakili oleh setting rumahnya yang
lindung dan dianggap angker oleh anak-anak, dan bunga-bunganya yang semerbak
harum. Kakek adalah wakil kelemah lembutan, dunia wanita. Sedang “Aku” adalah
orang yang sedang dalam masa tak menentu, tertarik ke kiri dan ke kanan, dan
itu semua sangat cocok dengan analisa watak. Sehingga cerpen ini walaupun
panjang tetap mengasyikkan dan tidak pernah lelah membacanya.[2]
Begitu pula gambaran pragmatik dalam cerpen Gerobak itu Berhenti
di Muka Rumah, Kuntowijoyo berusaha menggambarkan bagaimana kesabaran
seorang suami yang mencoba member pengertian kepada istinya yang dilanda
gejolak kemarahan, contohnya dalam dialog: “Tidak baik bertengkar dengan
tetangga, Ima”, saya menyabarkan. “Ingat siapakah kita ini. Apa pekerjaan
suamimu”. (Hlm 131)
Pengertian
semacam ini jelas menggambarkan sikap positif, pesan moral yang disalurkan
melalui sosok wibawa seorang lelaki yang berpendidikan, bahwa menilai sesuatu
tidak dengan kenegatifan terhadap orang lain.
Atau pada dialog: “Kau istri guru,
Ima”. Dan “Cobalah. Jangan sia-siakan kesempatan kalau kau terbangun malam
begini, alangkah baiknya kau mensyukuri nikmat Tuhan yang telah
dilimpahkan-Nya”. (Hlm 134). Sekali lagi pandangan positif itu dihadirkan dalam
sosok seorang guru sebagai pesan nilai pendidikan, bahwa seorang guru haruslah
bijaksana dalam bertindak, bagaimana Kuntowijoyo juga menyampaikan pesan agama
dalam dialog tersebut, bahwa memanfaatkan hal yang kurang baik sebagai sebuah
pelajaran untuk diambil manfaatnya dengan mengisi waktu tersebut dengan
beribadah.
Gambaran ramah sosok kakek pun
ditunjukan dalam dialog: “Ajaklah si Kelik itu ke rumah. Aku punya anak sapi”
(Hlm 139-140) atau “Datanglah kerumah saya. Saya tinggal di ujung timur jalan
ini, terus saja. Yang ada gerobaknya. Anak ini dibawa” (Hlm 142) digambarkan
sosok kakek yang ramah, menyenangi anak-anak, yang penuh perhatian.
Penutup
Demikianlah analisis cerpen
Dilarang Mencintai Bungan-Bunga dan Gerobak Itu Berhenti di Muka Rumah, dua
cerpen yang tergabung dalam kumpulan cerpen yang berjudul Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga karya Kuntowijoyo yang berhasil dikumpulkan ole Sunu Wasono. Cerpen
yang menggambarkan keakraban tokoh seorang kakek dan seorang anak yang keduanya
memiki hubungan batin yang kuat. Yang mampu memberikan makna kehidupan yang
seringkali dianggap sederhana dan tidak penting dalam kehidupan. Namun, mampu
memberikan pesan moral dan pendidikan bagi pembaca. Memberikan pandangan
mengenai filsafat hidup yang membuat pembaca betah membacanya berlama-lama.
Daftar Pustaka
Kuntowijoyo.
Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1992.
Wikipedia,
Biografi Kuntowijoyo, diakses dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Kuntowijoyo, Diunggah pada (19-12-13, pukul
22:52 WIB)
Korrie Layun Rampan, Kuntowijoyo
“Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Pelita hal.5 kolom 5, diakses dari http://nayapanda.blogspot.com/2012/04/pendekatan-pragmatik-dilarang-mencintai.html. Diunggah pada (21-12-13,
pukul 3:17 WIB)
[1] Wikipedia, Biografi Kuntowijoyo, diakses dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Kuntowijoyo, (19-12-13, pukul 22:52 WIB)
[2] Korrie Layun Rampan, Kuntowijoyo
“Dilarang Mencintai Bunga-Bunga. Pelita hal.5 kolom 5, diakses dari http://nayapanda.blogspot.com/2012/04/pendekatan-pragmatik-dilarang-mencintai.html. (21-12-13, pukul 3:17 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar