Minggu, 15 Februari 2015

Review



Judul               : Sastra Bandingan dan Sejarah Sastra Indonesia
Penulis             : Ayu Sutarto
Terbit               : Majalah, Jurnal Kritik, No 3 Tahun 2014

Tulisan yang mengupas tentang sastra bandingan (comparative literature) ini merupakan jurnal yang ditulis oleh Ayu Sutarto dengan judul utama Sastra Bandingan dan Sejarah Sastra Indonesia. Tulisan yang diawali dengan pandangan bahwa ketika berdiskusi tentang sastra bandingan maka ada hal yang menarik pula untuk diamati atau diteliti yakni mengenai fenomena era pascamodern (postmodern)  yang tentunya memiliki pengaruh terhadap perkembangan sastra bandingan.
Ayu Sutarto, merumuskan pandangan yang ditulis pada paragraf pertamanya dengan dua buah pertanyaan. “Masih relevankah mengupas tentang sastra bandingan ketika dunia telah mengalami fenomena tanpa batas (borderless) akibat pesatnya perkembangan teknologi informasi? Apakah pendekatan yang kita gunakan dalam telaah sastra bandingan harus berubah ketika dunia mengalami proses homogenisasi budaya (cultural homogenization) yang mengancam pusaka/warisan budaya (cultural heritage) bangsa-bangsa di berbagai belahan bumi?” (paragraf 2). Ayu Sutarto mencoba menyadarkan bahwa manusia sedang mengalami perubahan besar dalam era teknologi informasi saat ini. Seluruh warga bumi dapat dengan mudah berdialog tentang apa saja dengan bangsa lain tanpa mempertimbangkan berbagai latar perbedaan. Semua saling mempengaruhi dalam berbagai kegiatan mulai dari kegiatan ekonomi, politik, agama, keilmuan, termasuk pula dunia kesusastraan. Berkembangnya pula sastra siber (cyber literature), berkembangnya berbagai penyakit sosial akibat arus teknologi dan informasi tanpa penyaringan, karena semua diterima dan dicerna bulat-bulat hingga berdampak pula pada tradisi bersastra di berbagai belahan bumi mengalami perubahan yang cukup berarti dalam hal mempengaruhi proses kreatif pengarang. Ayu Sutarto menawarkan gagasannya agar para pemerhati dan peneliti sastra yang menggeluti disiplin sastra bandingan melakukan redefinisi dan reinterpretasi terhadap disiplin sastra bandingan agar dapat beradaptasi dengan prahara perubahan yang menumbuhkan kekhawatiran akan terjadinya homogenisasi budaya dan hilangnya jati diri bangsa.
Ayu Sutarto mencantumkan dua subjudul dalam tulisannya. Tulisannya dengan subjudul “Sastra Bandingan dan Sejarah Sastra” mengulas berbagai pandangan para ahli mengenai kajian sastra bandingan dan sejarah sastra. Ayu Sutarto mengakui bahwa definisi mengenai sastra bandingan saat ini masih menjadi perdebatan. Seperti yang diungkapkan Ulrich Weisstein (1973), bahwa pada umumnya para pakar seperti Tieghem, Carre, Guyard, dan Remak bersetuju sastra bandingan merupakan disiplin ilmu yang tidak memilik metodologi yang berasal dari dirinya sendiri. Disiplin yang satu ini dianggap sebagai cabang dari sejarah dan teori sastra. Tetapi yang hingga saat  ini juga belum mendapat kesepakatan bulat adalah benarkah sebuah entitas yang disebut sastra memiliki sejarah? Yang kemudian bermunculan berbagai macam pertanyaan mengenai keterkaitan antara sastra bandingan dan sejarah sastra. Ayu Sutarto mencoba menjelaskan bagaimana para pemerhati sastra bandingan sendiri mengalami kesulitan dalam mendefinisikan sastra bandingan atau pun sejarah sastra sehingga baik definisi sastra bandingan maupun sejarah sastra agaknya masih memiliki banyak celah untuk didefinisikan dan diinterpretasikan kembali. Dan kegiatan membanding-bandingkan senyatanya tidak akan pernah surut karena merupakan kodrat manusia.
Ayu Sutarto kembali mengingatkan bahwa telaah sastra bandingan senyatanya dimulai di Eropa yang merupakan suatu bentuk apresiasi terhadap orisinalitas karya sastra asing, yaitu pada abad ke-16 yang dikenal sebagai masa Renaisans. Ayu Sutarto mengajak untuk menyimak bagaimana Carre mendefinisikan sastra bandingan merupakan cabang dari sejarah sastra, yakni tentang hubungan spiritual antar bangsa, karya satu dengan yang lain atau kehidupan sastrawan satu dengan yang lain. Meskipun akhirnya definisi Carre ini banyak dipertanyakan dan digugat karena dianggap terlalu sederhana untuk sebuah dunia disiplin sastra yang luas dan selalu berkembang. Maman S. Mahayana (2009) menegaskan, terdapat dua hal yang sangat mungkin menjadi masalah dalam sastra bandingan sebuah disiplin ilmu. Pertama, persoalan yang menyangkut konsep dan yang kedua terkait tujuan, Ayu Sutarto juga mengatakan perlu kiranya dipertanyakan kembali rumusan-rumusan sastra bandingan yang pernah ada, dan pertimbangan tujuan sastra bandingan menjadi lebih kompleks. Dalam pengamatan Sapardi Djoko Damono, sastra bandingan tidak menghasilkan teori sendiri, dan oleh karena itu hampir semua teori bisa dimanfaatkan sesuai dengan objek  dan tujuan penelitiannya. Seiring dengan proses membanding-bandingkan muncullah pertanyaan apa saja yang bisa dibanding-bandingkan? Dalam menjawab hal ini Sapardi Djoko Damono merujuk kepada pandangan Remak yang mengatakan bahwa sastra bandingan bahwa sastra bandingan merupakan kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian hubungan antara sastra dengan bidang ilmu lain. Sapardi Djoko Damono juga menegaskan apabila telaah sastra bandingan hanya merujuk kepada batas-batas negara saja maka akan timbul banyak masalah sebab dalam sebuah negara terdapat perbedaan bahasa. Menurut Hutomo sampai dengan awal tahun 1990-an praktisi sastra bandingan , baik negara timur maupun negara barat mengaitkan dirinya dengan tiga hal yaitu: 1) afinitas organik, 2) tradisi, dan 3) pengaruh. Hutomo menegaskan bahwa sastra bandingan sebagai ilmu mencakup 1) sastra bandingan lama, 2) sastra bandingan lisan, dan 3) sastra bandingan modern. Kembali kepada pemahaman mengenai sastra bandingan Ayu Sutarto mengutip pandangan Francois Jost bahwa minat yang tumbuh dengan cepat dalam sastra bandingan belum disertai dengan pemahaman yang memadai tentang substansi sastra bandingan dan tujuannya. Dibalik pertanyaan terdapat hubungan antara sastra bandingan dan sejarah sastra? Ayu Sutarto mengungkapkan meskipun istilah sastra bandingan dan sejarah sastra merupakan istilah yang masih diperdebatkan, para pakar dan pemerhati disiplin sastra bandingan hendaknya tidak berhenti berbuat.
Subjudul kedua dalam tulisan Ayu Sutarto adalah “Era Pascamodern dan Sastra Bandingan”. Sekarang ini manusia tidak lagi hidup dalam era modern meskipun istilah modern masih terus digunakan. Ayu Sutarto mengungkapkan bahwa era pascamodern yang terjadi saat ini merupakan era peradaban pasar, pola bisnis yang mendominasi pemikiran. Peradaban pasar dikhawatirkan menjadi pemicu terjadinya proses homogenisasi budaya serta membahayakan tradisi lokal. Lima pemicu perubahan yang oleh Appadurai masing-masing dinamakan etnoscapes “aliran manusia”, mediascapes “aliran media”, technoscapes “aliran teknologi”, finanscapes “aliran uang” dan ideoscapes “aliran ideologi”. Ayu Sutarto menjelaskan konsep era pascamodern yang dikemukakan Somervell dan Toynbee yang berawal dari tahun 1875, sejarah barat setelah Zaman Gelap (675-1075), Era Pertengahan (1075-1475), dan Era Modern (1475-1875). Tapi tentu akan berbeda dengan sejarah Timur. Budaya pascamodern ditandai dengan kabur dan runtuhnya sekat-sekat antara budaya dan seni. Pascamodern adalah sebuah gejala yang membingungkan,manusia kehilangan banyak hal karena terdesak perubahan. Pemaknaan tentang pengetahuan (knowlage) juga telah berubah, kini dunia benar-benar telah mengalami perubahan yang sangat cepat. Pascamodernisme telah mengambil perhatian yang mendalam terhadap fenomena bahasa dan kebudayaan, tepatnya untuk menyatakan bahwa pemahaman terhadap diri seseorang bukan hanya dapat dilakukan melalui hal-hal atau gejala-gejala yang bersifat universal, tetapi juga melalui hal-hal khusus yang terdapat pada suatu kebudayaan. Manusia pascamodern adalah manusia yang mengidap berbagai penyakit kecanduan  akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada era pascamodern ini dunia sastra mengalami perubahan. Ayu Sutarto memberikan contoh perubahan yang terjadi di Indoneisa bagaimana penulis-penulis kontemporer Indonesia dipenuhi Oen penulis perempuan belia yang diberi label sebagai penulis Astra wangi.



Budianta memulai tulisannya dengan subjudul “Yang Baru dalam NH”. Sesuai dengan subjudul yang dipilihnya, penelurusan mengenai kapan dan oleh siapa istilah NH pertama dipakai terjawab dalam paragraf pertama. Istilah NH pertama kali digunakan Stephen Greenblattt pada 1982 yang mencoba melihat keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang meoingkupinya. Ia mendobrak kecendrungan kajian tekstual yang ahistoris, otonom, dan dipisahkan dari aspek yang berada di luar karya. Tidak hanya menggugat formalisme, menurut Greenblatttt karya sastra ikut membangun, mereproduksi konvensi, norma, dan nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasinya.  Revisi NH terhadap pendekatan formalis maupun sejarah disimpulkan oleh Louis A. Montrose dengan istilah “kesejarahan sastra dan kesastraan sejarah” yang berarti membaca sastra = membaca sejarah dan membaca sejarah = membaca sastra.
            Selanjutnya, lewat subjudul “Yang bukan baru: kesinambungan dan perbedaan teoritis” Melani Budianta mencoba membandingkan NH dengan beberapa teori yang sudah ada sebelumnya. Pertama Budianta membandingkan dengan Cultural Materialism yang dipelopori Raymond Williams pada tahun 60-an. Cultural Materialism yang dipengaruhi oleh neo-Marxis  melihat pentingnya memberi pemaknaan dengan menempatkannya pada kondisi material masanya. Selanjutnya Budianta juga melihat bahwa NH tidak dapat dilepaskan dari teori-teori postrukturalis seperti teori Dekonstruksi Jaques Derrida atau keterkaitan antara tanda dan ideologi yang diungkapkan oleh Rland Barthes. Hanya saja, jika dekonstruksi yang cenderung berpusat pada teks, NH mengutamakan hubungan teks dengan hukum, ekonomi, politik sehingga NH dengan kritik poskolonial, feminis, atau cultural studies yang menekankan dimensi politis-ideologis produk-produk budaya.
             Setelah memaparkan yang baru dan bukan baru dalam kritik NH, pada bagian selanjutnya Budianta membicarakan “Teori dan Metode: Foucault dan Geertz”. NH banyak bertumpu pada konsep kekuasaan Michel Foucault yaitu keniscayaan yang selalu hadir dalam setiap interaksi manusia, termasuk bahasa. Karena relasi kuasa bersirkulasi terus menerus tanpa henti mendorong kreativitas dan produktivitas, maka karya sastra dengan sendirinya menghadirkan relasi kuasa itu melalui bahasa yan dipakainya. Tidak hanya itu pengaruh Foucault tampak dari definisi Greenblattt tentang kebudayaan yaitu ruang tempat tarik menarik antara “kendala” dan “mobilitas”. Kritik NH umumnya menempatkan “subjek” dalam suatu tegangan antara menjadi agen yang mempunyai kesadaran akan pilihan, tindakan, kemauan, dan pihak yang ditaklukan atau mengalami subjektivikasi oleh idelogi atau nilai-nilai yang dominan. Pengaruh Clifford Greertz tampak pada metode “thick description” yaitu metode etnografi untuk memahami suatu produk budaya lain dengan rinci mengupas lapisan makna yang kompleks dalam kode-kode budaya yang mendasarinya. Sebagai penutup, Budianta menegaskan berbeda dengan pendekatan sejarah yang memakai teks dan produk budaya yang menonjol atau penting pada zamannya, NH menggunakan hal-hal yang tampak remeh-temen dan tersisihkan dari sejarah dan menyadingkannya dengan teks sastra yang dimaknai untuk menunjukan bagaimana ideologi beroperasi.
            Pada bagian “Dimensi Ekonomi: Puitika Pasar dalam Karya Sastra dan Kritik Sastra”, Budianta melihat dimensi ekonomi sangat kuat mewarnai pendekatan NH. Menurut Greenblattt interaksi budaya didasari oleh logika pertukaran. Kebudayaan dilihat sebagai jaringan negosiasi untuk pertukaran benda-benda material, gagasan, dan pertukaran manusia. Karena NH merupakan pendekatan yang lahir dalam tatanan masyarakat kapitalis, mau tak mau akan diwarnai oleh sistem yang membentuknya. Itulah yang membuat jargon seperti negosiasi, pertukaran, sirkulasi, merupakan metafor sistem ekonomi yang bertumpu pada sirkulasi uang dan modal.
            “Sumbangan dan Keterbatasan”, menurut Budianta fokus perhatian NH pada yang bersifat sinkronik dan mikro merupakan kekuatan dan keterbatasan. Salah satu sumbangan NH adalah mempelopori penjelajahan sejarah di bidang sastra dengan memakai wawasan dan konsep-konsep postruktural. NH juga menunjukan kekayaan yang ditawarkan oleh studi lintas disiplin, antara sejarah, sastra, ekonomi, politik.
            Terakhir pada “Pasar dalam Tjerita Boedjang Bingoeng: Melupakan dan Membingkai Teori” Melani Budianta mencoba menjawab pertanyaan apakah NH bermanfaat bagi kajian sastra di Indonesia. Sebelum memulai analisis, Budianta mengambil penelitian Tinneke Hellwig mengenai novel populer Fientje de Finiks. Dengan pendekatan feminis, Hellwig menunjukan bahwa baik novelnya maupun dokumen-dokumen sejarah tentang kejadian peristiwa yang sama , telah sama-sama membungkam subjek yang dibicarakannya, perempuan, melalui bias nilai patriarki yang media sastra, jurnalisme, dan sejarah kolonial. Hal tersebut menunjukan Hellwig telah melakukan penelitian sejarah dengan bingkai feminis dan memperlihatkan berbagai penelitian tidak muncul dari satu pendekatan tapi permasalahan yang kemudian menuntut jawaban dengan kerangka konseptual yang lintas pendekatan. Itulah yang membuat Budianta tidak memikirkan NH ketika menulis kajian tentang naskah Aman Datoek Madjoindo berjudul “Tjerita Boedjang Bingoeng”. Ia membuat penelitian diakronis mengenai “mengapa pasar dan uang begitu sentral dalam  Tjerita Boedjang Bingong?” dan mengaitkannya dengan Si Doel Anak Jakarta yang direproduksi menjadi dua film karya Sjuman Dajaja, dan sinteron produksi Rano Karno. Cara kerjanya, sebagai peneliti Melani Budianta tidak mulai dari teori atau pendekatan melainkan dari teks lalu melihat berbagai permasalahan yang ditawarkan oleh teks itu untuk diangkat sebagai penelitian. Pada saat yang sama, berbagai konsep, teori, model-model kajian yang pernah dibacanya telah terinterbalisasi sehingga memberinya “kacamata-kacamata” yang memungkinkannya menangkap permasalahan dalam teks (hlm.18). Sebagai penutup Melani Budianta mengajak pembaca untuk melakukan hal yang sama: membaca model-model kajian yang menerapkan berbagai konsep, teori, dan pendekatan, kemudian melupakannya ketika sedang menggeluti teks-teks sastra, sehingga dapat menemukan permasalahan-permasalahan yang kontekstual. 

Pendekatan Ekspresif dalam Kumpulan Cerpen Tiga Kota Karya Nugroho Notosusanto



PENDEKATAN EKSPRESIF DALAM KUMPULAN CERPEN
TIGA KOTA KARYA NUGROHO NOTOSUSANTO


Pendahuluan
Pada mulanya...
          Memenuhi tugas analisis yang dilatarbelakangi oleh pengerjaan tugas kelompok dan penyusunan kliping sejarah dan karya sastra pada tahun 1961-1971, mengiringi langkah saya untuk menelusuri sejumlah karya dan pengarang yang terlibat di tahun tersebut. Dari sekian banyak sastrawan dan karyanya, khususnya periode tahun 1961-1971 yang ditulis dalam buku “Sejarah Sastra Indonesia” karangan Rosida Erowati dan Ahmad Bahtiar yang tidak lain adalah dosen “Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”, yakni tempat saya kini menempuh pendidikan.
          Beberapa sastrawan yang tertulis di buku  tersebut. Di antaranya, W.S Rendra, Toto Sudarto Bachtiar, Nugroho Notosusanto, Ramadhan K.H, Trisnoyuwono, Toha Muchtar, B.Sulastro dan Subagyo Sastrowardoyo. Setelah berupaya luar biasa mencari karya-karya yang ditulis pada tahun 1961-1971, beberapa kendala pun dijumpai karena karya-karya di tahun tersebut selain sudah tidak diproduksi dan memang sudah hampir tidak ada lagi, mungkin hanya ada di beberapa toko buku lama yang keberadaannya terbatas. Akhirnya setelah kesulitan ternyata ada kemudahan, saya pun berhasil menemukan satu nama yaitu “Nugroho Notosusanto” dengan karyanya “Tiga Kota”. Saya sangat senang dan lega akhirnya bisa menemukan karya tersebut, terlebih setelah menunggu beberapa hari memesan pada sebuah toko buku di daerah Pasar Senen.
          Alangkah minimnya pengetahuan saya tentang para sastrawan di masa lalu, nama Nugroho Notosusanto pun tidak saya kenali sebelumnya, akhirnya sumber satu-satunya yang bisa menjawab karena ketiadaan buku biografi pengarang adalah melalui internet.
          Nama Nugroho Notosusanto pun muncul berderet dengan sejumlah karya dan prestasi yang saya terbelalak olehnya. Bagaimana mungkin seorang yang begitu ternama di negeri ini saya tidak ketahui sebelumnya.
          Selain sebagai seorang sastrawan, sejarawan, dan pejuang kemerdekaan. Ternyata beliau adalah seorang yang berpengaruh terhadap dunia pendidikan di negeri ini.
          Karyanya tersebar di berbagai majalah, termasuk kompas. Karyanya tersebut tidak hanya berupa cerpen melainkan juga essai. Beliau juga merupakan penulis yang produktif selain tulisannya tersebar di berbagai majalah juga dibukukan baik itu kumpulan cerpen maupun buku-buku terjemahan.
Buku kumpulan cerpen Nugroho Notosusanto, diantarnya:
·    Hidjau Tanahku, Hidjau Badjuku. 1963. Jakarta: Balai Pustaka
·    Hudjan Kepagian. 1958. Jakarta: Balai Pustaka
·    Rasa Sayange. 1961. Jakarta: Pembangunan
·    Tiga Kota. 1959. Jakarta: Balai Pustaka
          Saya kagum dengan biografi beliau, karyanya dan juga kiprahnya baik dalam kemiliteran maupun dunia pendidikan. Ada banyak yang harus diteladani oleh pemuda bangsa atas karirnya dalam berbagai bidang. Peran pemikirannya dan tentu inovasinya bagi pendidikan bangsa saat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam  Kabinet Pembangunan IV (1983-1985).
          Mungkin ada hal yang disayangkan ketika berbagai kontroversi yang mengiringi perjalanannya sebagai seorang sejarawan. Salah satu hal yang paling disorot adalah ketika Nugroho dimanfaatkan oleh ABRI maupun Orde Baru untuk menulis sejarah menurut versi pihak-pihak tersebut. Pada 1964 ABRI menggunakan Nugroho untuk menyusun sejarah militer menurut versi militer karena khawatir bahwa sejarah yang akan disusun oleh pihak Front Nasional yang dikenal sebagai kelompok kiri pada masa itu akan menulis Peristiwa Madiun secara berbeda, sementara militer lebih suka melukiskannya sebagai suatu pemberontakan pihak komunis melawan pemerintah.
          Banyak hal yang menarik tentang Nugroho Notosusanto, apalagi tentunya karya yang akan saya analisis pada kesempatan kali ini, yaitu “Tiga Kota” karya yang ditulis pada sekitar tahun 1953-1954. Buku kumpulan cerpen yang terdiri dari 9 cerpen yang berlatar tiga kota yakni kota Rembang, Jakarta dan Yogyakarta. Tiga kota yang tentu punya historis sendiri bagi Nug, begitulah mungkin Nugroho Notosusanto menjadikan sosoknya sendiri sebagai tokoh dalam beberapa cerpennya tersebut. Posisi demikian memang bisa saya asumsikan dilatarbelakangi bahwa karyanya tersebut diilhami oleh pengalaman, kondisi dan perjuangannya pada saat itu.
          Demikian sekilas gambaran, tentu perkenalan kita pada sosok Nugroho Notosusanto tidak akan berhenti di sini. Saya akan mengajak pembaca mengenal lebih jauh mengenai tokoh yang satu ini, meskipun dengan berbagai keterbatasan, di antaranya saya tidak berhasil menemukan buku biografi atau pun buku lain yang menceritakan tentang Nugroho Notosusanto sendiri. Namun, marilah kita sama-sama belajar dan mohon dimaklumi atas segala kekeliruan yang saya tuliskan. Terima kasih.

Siapa Sebenarnya Nugroho Notosusanto?
Awal perkenalan...



                                 
Seperti yang saya utarakan sebelumnya di bagian pendahuluan bahwa pada mulanya saya secara pribadi belum mengenal sosok tokoh ini. Tapi pada akhirnya lewat media internetlah saya mampu berkenalan dengan sosok Nugroho Notosusanto. Meski tidak berkenalan secara langsung atau membaca biografi yang sesungguhnya melalui sebuah buku, tapi saya kira media tidak akan sampai hati memanipulasi biografi tokoh ini.
          Maka saya awali perkenalan saya dengan beliau dengan mengumpulkan berbagai sumber mengenai pak Nug (Agar terasa lebih akrab dan tidak terlalu panjang saya memanggil nama beliau, maka saya putuskan untuk memanggil demikian. Tentu bukan tanpa alasan saya memanggil beliau demikian karena begitulah beliau menamai tokoh aku dalam cerpennya “Nug”, yang saya asumsikan itu nama pendek dari Nugroho Notosusanto).
          Pak Nug lahir di Rembang, Jawa Tengah pada tanggal 15 Juli tahun 1931. Ayah Pak Nug bernama R.P. Notosusanto yang mempunyai kedudukan terhormat, yaitu seorang ahli hukum Islam di Fakultas Hukum, UGM (Universitas Gadjah Mada) dan seorang pendiri UGM. Kakak tertua ayah pak Nug adalah pensiunan Bupati Rembang. Pangkat patih, apalagi bupati sangat sulit dicapai rakyat pribumi pada waktu itu di daerah pesisiran Rembang. Pak Nug adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Saya berpendapat inilah yang melatar belakangi kiprah beliau yang luar biasa, memang beliau sudah di anugrahi dengan pangkat dari keluarganya.
          Pendidikan yang pernah di tempuh oleh pak Nug adalah dimulai dengan bersekolah di Europeese Lagere School (ELS) tamat 1944, kemudian melanjutkan sekolah SMP di Pati. Tahun 1951 berhasil menamatkan sekolah SMA di Yogyakarta. Setamat SMA beliau masuk Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, Universitas Indonesia dan tamat tahun 1960. Ketika Pak Nug sedang giat-giatnya dalam gerakan mahasiswa, beliau berkenalan dengan Irma Sawitri Ramelan (Lilik) yang merupakan keponakan istri mantan Presiden RI Prof. Dr. B.J.Habibie. Perkenalan itu kemudian diteruskan ke jenjang perkawinan pada tangal 12 Desember 1960, di Hotel Indonesia. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai tiga orang anak, yang pertama bernama Indrya Smita sudah tamat FIS UI, yang kedua Inggita Sukma, dan yang ketiga Norottama.
          Tahun 1962 beliau memperdalam pengetahuan di bidang Sejarah dan Filsafat di University of  London. Ketika tamat SMA, sebagai seorang prajurit muda beliau dihadapkan pada dua pilihan, yaitu meneruskan karier militer dengan mengikuti pendidikan perwira ataukah menuruti apa yang diamanatkan ayahnya untuk menempuh karier akademis. Ayahnya dengan tekun dan sabar mengamati jejak beliau. Ternyata, setelah 28 tahun, keinginan ayahnya terkabul meskipun sang ayah tidak sempat menyaksikan putranya dikukuhkan sebagai guru besar FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia) karena ayahnya telah wafat pada tanggal 30 April 1979. Dengan usaha yang sebaik-baiknya, amanat ayahnya kini telah diwujudkan meskipun kecenderungan pada karier militernya tidak pula tersisih. Pada tahun 1977 ia memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra bidang sejarah dengan tesis "The Peta Army During the Japanese Occupation in Indonesia", yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tentara Peta pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia. diterbitkan oleh penerbit Gramedia pada tahun 1979. Pak Nug mendapat pendidikan di kota-kota besar seperti Malang, Jakarta, dan Yogyakarta.
          Pengalaman pak Nug di bidang kemiliteran, pernah menjadi angota Tentara Pelajar (TP) Brigade 17 dan TKR Yogyakarta. Sejak beliau menjadi anggota redaksi harian Kami, beliau semakin menjauh dari dunia sastra, akhirnya ia tinggalkan sama sekali. Ia kemudian beralih ke dunia sejarah dan tulisannya mengenai sejarah semakin banyak. Pada tahun 1967, Pak Nug mendapatkan pangkat tituler berdasarkan SK Panglima AD No. Kep. 1994/12/67 berhubungan dengan tugas dan jabatannya pada AD. Pangkat terakhirnya adalah Brigadir Jenderal, pangkat tertinggi yang mungkin diraih dalam karier sipil di kemiliteran saat itu. Sejak tahun 1964, beliau menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI. Ia juga menjadi anggota Badan Pertimbangan Perintis Kemerdekaan serta aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah di dalam dan di luar negeri. Pada tahun 1981 namanya kembali disebut-sebut berkenaan dengan bukunya Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara. Buku ini menimbulkan polemik di berbagai media massa. Bahkan banyak pula yang mengecam buku itu sebagai pamflet politik.
          Pak Nug dikenal sebagai penulis produktif. Di samping sebagai sastrawan dan pengarang, beliau juga aktif menulis buku-buku ilmiah dan makalah dalam berbagai bidang ilmu, dan terjemahannya yang diterbitkan berjumlah dua puluh satu judul. Buku-buku itu sebagian besar merupakan lintasan sejarah dan kisah perjuangan militer. Wawasan yang mendalam tentang sejarah perjuangan ABRI menyebabkan beliau mampu mengedit film yang berjudul Pengkhianatan G 30 S/PKI.
          Di bidang keredaksian dapat dicatat sejumlah pengalamannya, yaitu memimpin majalah Gelora, menjadi pemimpin redaksi Kompas, anggota dewan redaksi Mahasiswa bersama Emil Salim Tahun 1955-1958, menjadi ketua juri hadiah sastra, dan menjadi pengurus BMKN. Sewaktu di perguruan tinggi ia menjadi koresponden majalah Forum, dan menjadi redaksi majalah Pelajar.
          Pak Nug juga aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dalam tahun 1959-1976 tercatat empat kali pertemuan ilmiah internasional yang dihadirinya.
          Dalam bidang pendidikan, Pak Nug banyak memegang peranan penting. Ia pernah menjadi Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FSUI, menjadi Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, UI. Tahun 1971-1985 beliau menjadi wakil Ketua Harian Badan Pembina Pahdiawan Pusat. Ketika pak Nug dilantik menjadi Rektor UI, beliau disambut dengan kecemasan dan caci maki para mahasiswa UI. Mahasiswa menganggap beliau adalah seorang militer dan merupakan orang pemerintah yang disusupkan ke dalam kampus untuk mematikan kebebasan kehidupan mahasiswa.
          Pada tanggal 19 Maret 1983, pak Nug dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam Kabinet Pembangunan IV (1983-1985). beliau dikenal sebagai orang yang kaya ide, karena semasa menjadi menteri, beliau mencetuskan banyak gagasan, seperti konsep wawasan almamater, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Pendidikan Humaniora. Di samping itu, banyak jasa-jasanya dalam dunia pendidikan karena  beliau yang mengubah kurikulum menghapus jurusan di SMA, sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru (Sipenmaru). Walaupun Nugroho hanya dua tahun menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, banyak hal yang telah digarapnya, yaitu Universitas Terbuka (UT) sebagai perguruan tinggi negeri yang paling bungsu di Indonesia. Program Wajib BelajarOrang Tua Asuh, dan pendidikan kejuruan di sekolah menengah. Pak Nug adalah satu-satunya menteri yang mengeluarkan Surat Keputusan mengenai tata laksana upacara resmi dan tata busana perguruan tinggi. Akan tetapi, sebelum SK ini terlaksana pak Nug telah dipanggil Tuhan Yang Maha Esa. Pada hari Senin, 3 Juni 1985 pukul 12.30 WIB pak Nug meninggal dunia di kediamannya karena serangan pendarahan otak akibat tekanan darah tinggi. Beliau meninggal dunia tepat pada bulan yang mulia bagi umat Islam, yaitu pada bulan Ramadlan dan di kebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
          Puncak pengakuan atas sumbangan pak Nug terhadap bangsa Indonesia adalah diberikannya Bintang DharmaBintang GerilyaBintang Yudha Dharma Nararya, Satyalancana Penegak.
          Pak Nug merupakan pengarang yang dimasukkan H.B. Jassin ke dalam golongan sastrawan Angkatan 66 termasuk juga sastrawan angkatan baru (periode 1950-an) menurut versi Ajip Rosidi.
          Di antara pengarang semasanya, pak Nug dikenal sebagai penulis esai. Sebagian besar pengarang waktu itu hanya menulis cerpen dan sajak, tetapi pak Nug banyak menulis esai. beliau menyelami zamannya, terutama tentang sastra dan kebudayaan. Tulisan-tulisan yang berisi pembelaan para sastrawan muda, yaitu ketika terdengar suara-suara tentang krisis kesusastraan, menyebabkan pak Nug tertarik dalam dunia sastra Indonesia. pak Nug lah yang memprakarsai simposium sastra FSUI pada tahun 1953; yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai tahun 1958.
          Bakat pak Nug dalam mengarang sudah terlihat ketika masih kecil. Beliau mempunyai kesenangan mengarang cerita bersama Budi Darma. Cerita beliau selalu bernapas perjuangan. Pada waktu itu Republik Indonesia memang sedang diduduki oleh Belanda. Dari cerita-cerita yang dihasilkan beliau waktu itu, tampak benar semangat nasionalismenya. Menurut ayahnya, pak Nug mempunyai jiwa nasionalisme yang besar.
          Sebagai sastrawan, pada mulanya pak Nug menghasilkan sajak dan sebagian besar pernah dimuat di harian Kompas. Oleh karena tidak pernah mendapat kepuasan dalam menulis sajak, beliau kemudian mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai. Karya pak Nug pernah dimuat di berbagai majalah dan surat kabar seperti Gelora, Kompas, Mahasiwa, Indonesia, Cerita, Siasat, Nasional, Budaya, dan Kisah. Mungkin itu sedikit perkenalan saya dengan Pak Nug melalui media internet.

Pendekatan Ekspresif dalam Kumpulan Cerpen
Tiga Kota Karya Nugroho Notosusanto
Dekati karyanya, kenali pengarangnya...
          Mengenai kehidupan Pak Nug sudah sedikit saya perkenalkan pada bagian sebelumnya, pak Nug merupakan pengarang yang dimasukkan H.B. Jassin ke dalam golongan sastrawan Angkatan 66 termasuk juga sastrawan angkatan baru (periode 1950-an) menurut versi Ajip Rosidi. Memang pada tahun tersebutlah beliau berkiprah dalam kesusastraan Indonesia. Mungkin itu pula alasan saya mengambil karya pak Nug sebagai bahan analisis, karena beliau merupakan pengarang yang masuk pada periode 1961-1971, periode yang termasuk pada kajian kelompok saya.
          Tiga Kota merupakan salah satu judul kumpulan cerpen pak Nug yang berhasil dibukukan oleh penerbit Balai Pustaka, cetakan pertamanya pada tahun 1959. Dan buku kumpulan cerpen Tiga Kota yang berada di tangan saya saat ini merupakan buku cetakan ke empat yaitu cetakan pada tahun 1975.
          Meskipun sebenarnya buku kumpulan cerpen Tiga Kota sendiri sudah pak Nug tulis dari 1953-1954.
Pendekatan Ekspresif...
          Dalam studi sastra ada sejumlah pendekatan yang dapat diterapkan oleh penelaah sastra, di antaranya yaitu pendekatan ekspresif. Pendekatan ekspresif ialah pendekatan yang lebih mendasar pada pengarang sebagai pencipta karya sastra tersebut dan lebih menitikberatkan kajiannya pada ekspresi perasaan dan temperamen penulis. Pendekatan ekspresif tersebut mengenai batin atau perasaan seseorang yang kemudian di ekspresikan dan dituangkan ke dalam bentuk karya dan tulisan hingga membentuk sebuah karya sastra yang bernilai rasa tersendiri, dan menurut isi kandungan yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui bahwa karya sastra tidak dapat hadir bila tidak ada yang menciptakannya, sehingga pencipta karya sastra sangat penting kedudukannya dalam kegiatan kajian dan apresiasi sastra, pikiran dan perasaan pengarang. Sebab pada hakikatnya karya sastra adalah tuangan pengalaman penulis dari segala gagasan, cipta rasa, emosi, ide, angan-angan yang memandang suatu karya sastra yang esensial sebagai dunia internal (pengarang) yang terungkap, sehingga menjadi dunia eksternal (berupa karya seni) sebagai perwujudan proses kreatif. Pikiran dan perasaan pengarang adalah sumber utama dan pokok masalah dalam suatu novel misalnya,adalah sifat-sifat dan tindakan-tindakan yang berasal dari pemikiran pengarangnya, sehingga karya sastra merupakan sarana atau alat untuk memahami keadaan jiwa pengarang. Guna pendekatan ekspresif ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pengarang dalam mengungkapkan gagasan-gagasan, imajinasi dan spontanitasnya (Nasya Wulan, 2014:Diposkan oleh dititikgerimizku.blogspot).
Mengapa “Tiga Kota”?
          Judul buku ini “Tiga Kota”, saya rasa bukan tanpa alasan judul buku ini dikatakan demikian, karena memang kumpulan cerpen ini diambil dari latar cerita yang terjadi di tiga kota. Yang terdiri dari sembilan cerita pendek.
          Ketiga kota itu adalah Rembang, Yogyakarta dan Jakarta. Kota yang paling banyak memberi pak Nug inspirasi untuk lahirnya cerita. Rembang melatari cerita kenangan Mbah Danu, Pengantin dan Tayuban. Yogyakarta dan Jakarta melatari cerita Jeep 04-1001 Hilang dan Vickers Jepang.
          Kumpulan cerpen Tiga Kota, ini sedikitnya merekam kehidupan pribadi yang dialami pak Nug.
Biarkan cerita ini mengalir, meski tak sampai bermuara...
v  Rembang, di balik sebuah tradisi dan kepercayaan ...
          Cerpen berlatar di kota Rembang, tentu kita ketahui bersama bahwa Pak Nug lahir di Rembang, Jawa Tengah, tepatnya pada tanggal 15 Juli tahun 1931. Tentunya kota ini amatlah berpengaruh terhadap karya-karya yang diciptakan pak Nug.
          Cerpen yang berlatar kota Rembang ini terdiri dari tiga judul cerita pendek yaitu Mbah Danu, Pengantin dan Tayuban.
          Mbah Danu, begitulah judul cerpen pertama yang berlatar di kota Rembang yang dibuat 07 Juli 1954. Cerpen Mbah Danu ini bertemakan kehidupan sosial. Menceritakan tentang keadaan kehidupan masyarakat kota Rembang yang masih percaya terhadap hal-hal yang tahayul dari pada yang modern. Saya kira begitulah gambaran kota Rembang yang ingin disampaikan pak Nug, bahwa kotanya pada saat itu masih sangat memegang teguh kepercayaan terhadap roh-roh, seperti beliau menggambarkan tokoh Mbah Danu sebagai seorang dukun yang amat terkenal di kampungnya, yang semua orang mempercayakan segala pengobatan kepada Mbah Danu dari pada berobat ke dokter. Pak Nug pun menggambarkan tokoh dukun Mbah Danu melakukan ritual pengobatannya yang aneh dan tidak wajar. Memang seperti itulah gambaran masyarakat pada masa lalu sebelum era modernisasi saat ini. Namun, saya kira hal-hal semacam itu tidak hanya terjadi pada masa lalu tetapi pada masa sekarang pun kepercayaan semacam itu masih ada yang mempercayai dan menjadikannya sebuah tradisi. Meski pada sekitar tahun 1954, pak Nug menceritakan sudah adanya seorang dokter untuk mengobati berbagai penyakit melalui pengobatan medis yang telah teruji secara rasional, namun tetap saja warga di kampung itu lebih mempercayai dukun. Di akhir cerita, ketika ada salah satu tokoh yang sakit demam berdarah dan dokter yang mengobati pasien tersebut, namun sayang orang yang sakit itu tidak kunjung sembuh malah akhirnya meninggal dunia, sosok Mbah Danu dan beberapa warga kampung lain menyalahkan mengapa pengobatan tersebut diserahkan kepada dokter bukan Mbah Danu, tapi dengan kejutan yang sederhana namun begitu jelas pak Nug mengungkapkan bahwa seorang pesakit demam berdarah itu ternyata tidak meminum obat yang diberikan dokter tapi malah menumpuk atau membuangnya di pojok tempat tidurnya. Saya kira inilah gambaran yang ingin disajikan pak Nug bahwa pengobatan dokter sudah pantas dipercayakan keahlian medisnya, bukan malah mempercayai suatu yang bahkan jauh dari ajaran agama.
          Pengantin, adalah judul cerpen kedua yang berlatar kota Rembang ditulis pak Nug pada tanggal 04  Juli 1954. Saya akan langsung menyimpukan saja bahwa dalam cerita ini pak Nug mengantarkan kita bagaimana sebuah tradisi perjodohan begitu mengikat. Ketika seorang ayah itu pak Sekater hendak menikahkan putri sulungnya, namun ternyata putri sulungnya tersebut memiliki kecintaan pada laki-laki lain yang akhirnya malah kawin lari dengan laki-laki tersebut sebelum dinikahkan oleh pak Sekater, karena pak Sekater tidak mau menanggung malu kepada besannya, maka terjadilah kesepakatan yang akhirnya mengorbankan putri bungsunya yang masih duduk di bangku sekolah, gadis yang ceria dan cerdas itu harus menerima perjodohan menggantikan kakaknya untuk menikah. Begitulah kira-kira pak Nug menggambarkan bagaimana di kotanya perjodohan amat mengikat, bahkan untuk mempertahankan harkat martabat seseorang bisa mengorbankan apapun termasuk masa depan anak yang belum layak menjalani sebuah bahtera pernikahan.
          Tayuban, merupakan judul cerpen ketiga yang berlatar kota Rembang yang ditulis pada tanggal 03 Juli 1954. Coba akan saya ceritakan lagi mengenai salah asi keluarga pak Nug yang saya sudah singgung di awal perkenalan dengan pak Nug, yaitu kakak tertua ayah pak Nug adalah pensiunan Bupati Rembang. Pangkat patih, apalagi bupati sangat sulit dicapai rakyat pribumi pada waktu itu di daerah pesisiran Rembang. Jika saya ambil benang merah dari cerita yang ketiga ini di dalamnya melibatkan kepatuhan seorang istri pada suami pada zaman itu, yang suaminya merupakan seorang berpangkat mantri polisi, pangkat mantri polisi atau pangkat yang lebih rendah dari bupati haruslah sangat tunduk dan urut pada zaman itu, titah seorang bupati sudah seperti gubernur memerintah. Pangkatnya tinggi dan disegani. Pada acara yang diadakan bupati inilah ada yang namanya tayuban, yaitu adanya para penari yang berpakaian ketat atau kurang sopan dipakai orang pada umumnya di zaman tersebut. Bupati mengundang seluruh bawahannya. Termasuk tokoh sang mantri polisi bersama istrinya, disediakannya berbagai minuman keras, bupati itu pun menyuruh mantri polisi tersebut tayuban dengan para penari dan meminum minuman keras serta melakukan perbuatan selayaknya suami istri dengan para penari. Sedangkan para istri mantri-mantri polisi itu hanya bisa menyaksikan suami-suami mereka melenggang bersama para penari ke sebuah kamar, dan akhirnya para istri pulang dengan perasaan bahwa suami mereka merupakan lelaki yang paling berbudi di seluruh dunia karena sudah melakukan kewajibannya menuruti perintah gusti kanjeng bupati, karena kalau mereka para mantri polisi tidak mematuhi perintah bisa saja mereka dipecat. Sesuatu yang pak Nug sajikan dalam cerita ini, pada zaman sekarang ini akan terasa aneh, namun itulah yang terjadi bagaimana pangkat memiliki pengaruh kekuasaan yang sangat tinggi, bahkan menjadikan manusia layaknya tidak bermartabat dibalik pangkatnya sekalipun.
v  Yogya, sengsara di bawah kaki perjuangan...
          Saya akan menyinggung bagian perkenalan dengan pak Nug, yaitu mengenai ayah pak Nug bernama R.P. Notosusanto yang mempunyai kedudukan terhormat, yaitu seorang ahli hukum Islam di Fakultas Hukum, UGM (Universitas Gadjah Mada) dan seorang pendiri UGM. Mungkin inilah yang mengantarkan mengapa pak Nug memberi latar Yogya pada cerpennya. Cerpen yang berlatar Yogya ini terdiri dari dua cerpen yang berjudul Gunung Kidul dan Jeep 04-1001 Hilang.
          Gunung Kidul, judul cerpen ke empat yang berlatar Yogya ditulis pak Nug pada tanggal 02 Mei 1953. Pak Nug menceritakan bagaimana di sebuah desa terpencil ada keluarga tinggal di sebuah gubuk dan miskin, anaknya menangis menahan lapar, ibunya berusaha menenangkan anak kecil itu dengan menceritakan berbagai kisah, namun ternyata anaknya tersebut terus merasakan kelaparan, sedangkan ayahnya tak kunjung pulang. Ketika malam yang dingin itu, di kampung yang sepi itu tetaplah ada yang bertugas berpatroli menjaga kampung. Ketika meronda dua orang itu melihat sosok orang sedang mencabuti pohon ketela milik pak Sardi, kemudian laki-laki itu diteriaki maling dan warga menjadi ramai berhamburan mengejar maling tersebut. Maling tersebut lari hingga mendekati rumah mbok Kromo begitulah nama seorang ibu yang anaknya sedang kelaparan. Akhirnya maling itu tertangkap dan dipukuli hingga meninggal dunia. Ketika warga ingin melihat siapakah maling tersebut dan meminjam lampu kerumah mbok Kromo dan dilihatnya maling tersebut ternyata suaminya yaitu pak Kromo yang telah meninggal dihabisi masa. Inilah kisah memilukan yang dihadirkan pak Nug di era pra kemerdekaan, bagaimana kesulitan-kesulitan mendera, kelaparan menyengsarakan warga miskin, bahkan hanya untuk mencari pengganjal perut saja harus menaruhkan nyawa.
          Jeep 04-1001 Hilang, adalah judul cerita yang kelima yang berlatar di Yogya. Saya juga pada bagian ini akan menyinggung bagian perkenalan saya dengan pak Nug, seperti kita ketahui beliau juga sangat berperan dalam kemiliteran memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Pengalaman pak Nug di bidang kemiliteran, pernah menjadi anggota Tentara Pelajar (TP) Brigade 17 dan TKR Yogyakarta. Saya kita cerita ini pun bermula pada ranah tersebut, bagaimana para pemuda bangsa menjadi pejuang militer dalam mengabdi kepada negara untuk mengusir penjajah, sampai rela meninggalkan sanak keluarga, apalagi jika kehidupan sanak keluarga itu juga menderita dalam kubangan kemiskinan. Namun itulah yang diceritakan pak Nug dengan tokoh Totok yang meninggalkan ibu dan adik-adiknya dalam kemelaratan demi memperjuangkan bangsa. Pak Nug sendiri menggunakan kata aku sebagai tokoh pencerita dengan nama Nug. Dari sinilah saya berkesimpulan pak Nug terlibat langsung pada kejadian ini saat menjadi tentara pelajar.
v  Jakarta, senandung kesedihan...
         Jakarta merupakan tempat yang tentu sangat berpengaruh dalam kehidupan pak Nug, tempat beliau merajut mimpi, belajar ilmu sejarah dan meniti karier sampai pada menjadi seorang menteri dan juga menghabiskan hidupnya sampai pada kematian.
         Cerpen berlatar kota Jakarta ini terdiri dari empat judul cerpen yaitu lagu, vickers Jepang, puisi dan Kemayoran 1954. Pada bagian latar ini saya akan lebih sedikit menceritakan cerita, mungkin hanya sekilas.
         Judul keenam adalah lagu, cerita ini dibuat pada tanggal 18 September 1954. Menceritakan bagaimana kecintaan seorang ibu yang begitu takut kehilangan anaknya, kecintaan anaknya bermain piano membawa dia untuk belajar di luar kota dan dibiayai oleh orang kaya yang baik hati ingin menyekolahkan Maman, anak lelaki itu. Tapi lama kelamaan ibunya terlihat sedih dan ingin selalu bersama anaknya. Saya menganggap rasa sedih ini mungkin bentuk rasa kecintaan orang tua pak Nug ketika pak Nug menempuh pendidikan di luar kota, tentu orang tua terutama seorang ibu akan sangat sedih dan kehilangan meskipun anaknya pergi untuk menempuh pendidikan.
         Judul ketujuh adalah vickers Jepang, pak Nug membawa lagi sisi perjuangan beliau pada masa menjadi tentara. Beliau pun menggunakan tokoh aku sebagai pencerita dan bernama Nug, tentu saya pikir beliau melukiskan kejadian yang dialaminya sendiri, ketika beliau sedang naik sepeda malam hari dan pada saat di perjalanan tersebut dihadang seseorang dan dipintai uangnya dilucuti jam yang dipakainya, namun pada akhirnya ternyata yang berani merampoknya adalah anak buahnya sendiri ketika di cam perjuangan. Ternyata yang dulunya seorang prajurit itu kini tak cukup kehidupannya, istrinya mau melahirkan, padahal dulu dia termasuk orang yang kaya, lebih tepatnya orang tuanya, tapi karena tak direstui pernikahnnya dengan gadis desa maka tidak lagi dianggap anak lah dia. Tentu pada zaman itu martabat adalah segala-galanya. Anak pun dibiarkan hidup sengsara demi tetap menjaga nama harga diri.
          Judul kedelapan adalah Puisi, yang ditulis pada tanggal 17 Maret 1954. Pak Nug pada cerita ini masih menjadi toko aku dalam dirinya tapi kali ini dirinya sebagai penulis. Bagaimana dia mempunyai teman yang bernama Gajah, perangainya yang galak dan sering adu jotos, namun tiba-tiba kadang perangainya menjadi halus ketika sehabis mengurung diri di kamar dan sehabis membuka albumnya. Ternyata setelah mengakui pada pak Nug bahwa di albumnya itu berisi puisi-puisi para sastrawan termasuk pak Nug, pak Nug sendiri menyebutkan judul sajaknya yaitu “Triwikrama” pada cerita tersebut. Inilah mungkin gambaran bahwa kehidupan yang keras pada zaman pemerintahan orde lama sekitar tahun 1945-1968, masa pra kemerdekaan. Sastra menjadi penawar kegundahan.
          Judul kesembilan adalah Kemayoran 1954, yang ditulis pada tanggal 12 April 1954. Pak Nug menceritakan sebuah kecelakaan pesawat yang terjatuh di Singapura dengan mengambil sisi orang ketiga yang menyaksikan sebelum terjadi kecelakaan tersebut ada seorang ayah yang berpisah dengan anak yang masih kecil dan istrinya untuk pergi bertugas dan menjanjikan akan kembali, tapi esoknya bukan menunggu kedatangan yang membahagiakan malah menunggu jasad ayah yang meninggal karena kecelakaan pesawat. Sisi pilu inilah yang mengantarkan bagaimana sebuah dilema kecelakaan pesawat. Bagaimana luka yang dirasakan keluarga yang ditinggalkan.
          Mungkin demikian analisis saya terhadap karya yang ditulis oleh pak Nugroho Notosusanto dengan judul buku “Tiga Kota”. Cerita yang tentu sangat historis dengan keadaan bangsa pada masa orde lama atau pra kemerdekaan.
          Semoga dapat bermanfaat, tentunya masih terdapat banyak kekurangan. Saran dan kritik pak Ahmad Bahtiar akan sangat membantu saya. Mohon maaf dan terimakasih.



Sumber
Notosusanto, Nugroho. Tiga Kota. Jakarta: Balai Pustaka. 1975.



         

Biografi, Sinopsis dan Unsur Intrinsik "Kalau Tak Untung" Karya Selasih

BiBiografi Tokoh "Selasih" Hj. Sariamin Ismail selain dikenal sebagai seorang sastrawan juga merupakan salah seorang tokoh dan ...