Andai saja aku bisa mengatakan aku hanya butuh satu saja
kebahagiaan yang dulu sampai sekarang tidak pernah aku rasakan yaitu kedua
orang yang telah menyebabkan aku terlahir ke dunia ini, maka setelah itu aku
mempunyai alasan untuk bertahan hidup.
Bukan
hanya aku anak yang dalam hatinya ada sebuah beban yang tak pernah menghilang
walau telah mencoba keras melupakannya.
Aku berharap aku lupa satu sketsa itu dalam memoriku, tapi aku pun
sadar tanpa sketsa itu aku tak akan tahu rasanya menangis itu juga bisa
menenangkan. Menenangkan sebagian tujuan yang harus kulanjutkan. Walau pun
sketsa itu aku biarkan tertanam dalam benakku yang kadang mematikan sebagian
tujuan hidupku.
Andai saja aku bisa mengatakan aku hanya ingin melihat sebuah
sketsa yang bisa menggambarkan bahwa kedua orang itu bahagia berdampingan
menanti kelahiranku, mungkin dalam sebuah bingkai. Tapi ternyata tidak ada yang
tersisa. Aku hanya melukis imajinasi seperti orang bodoh yang tidak bisa lagi
berpikir dengan benar.
Andai saja aku bisa memberanikan diri untuk bertanya tentang apa
alasan kedua orang itu meninggalkan aku pada sebuah ingatan? Ingatan yang
selamanya hanya sekadar ingatan. Alasan mengapa kedua orang itu melepaskan
janji yang mereka buat sendiri? Apa mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk
bertahan? Atau pun setidaknya memberikan harapan untukku? Untuk aku bisa hidup
tanpa harus mengingat ingatan yang mereka tidak mungkin bisa sembuhkan dengan
cara apapun, bahkan jika diberikan ganti sebaik apapun. Tapi tak pernah ku
wujudkan niatku untuk bertanya bahkan selalu kuurungkan jika ada sedikit pun
niat ataupun sekedar untuk menerka aku segera menepisnya. Bukan karena tidak
mempunyai keberanian, aku tidak akan hidup sejauh ini jika tidak punya
keberanian, hanya saja aku takut kedua orang itu lebih teruka dari lukaku,
lebih sakit dari sakitku.
Andai saja kedua orang itu ingat bahwa aku butuh penjelasan, butuh
penegasan mengapa ada anak seperti aku? Atau sekadar melapangkan dadaku untuk
bertahan karena hidup adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kesabaran dan
pengorbanan.
Aku sadar. Aku hanya berandai-andai. Seharusnya aku bisa melupakan.
Namun, sedetik pun sakitnya masih terasa bahkan dalam waktu tertentu rasanya
semakin menyakitkan. Aku berteriak, tapi tidak ada yang mendengar. Tangisku
hanya terdengar sejauh gendang telingaku bahkan mungkin hanya sampai dinding hatiku.
minggu, 17 Agustus 2014