Senin, 02 November 2015

Biografi, Sinopsis dan Unsur Intrinsik "Kalau Tak Untung" Karya Selasih

BiBiografi Tokoh "Selasih"
Hj. Sariamin Ismail selain dikenal sebagai seorang sastrawan juga merupakan salah seorang tokoh dan pemikir pendidikan pergerakan Nasional. Dilahirkan oleh seorang ibu bernama Sari Uyah dan bapaknya bernama Lau yang bergelar Dt. Raja Malintang. Anak kedua dari lima bersaudara ini lahir di kampung Koto Panjang desa Sunurut, Talu, Pasaman, Sumatra Barat pada tanggal 31 Juli tahun 1909.
Basariah adalah namanya sewaktu lahir. Namun, karena sering sakit diganti oleh neneknya yang bernama Siti Sari Enam menjadi Sari Amin. Waktu SD ia menulis namanya dengan dua kata tersebut. Namun, agar lebih manis ia mengubah menjadi satu kata yaitu Sariamin. Anak kedua dari lima bersaudara ini menyenangi dunia menulis sejak masih kecil, ia pertama kali menulis syair-syair dalam bentuk puisi. Kakaknya bernama Sari Hikmah (Rakimah) dan memiliki tiga adik yaitu Abdul Djabar, Sarikam dan Djusna Lau.
Nama Ny. Sariamin Ismail adalah nama ia setelah menikah. Dalam dunia menulisnya ia menggunakan nama samaran. Bahkan, nama samarannya bisa dikatakan banyak. Selain menulis novel ia juga banyak menulis di surat kabar.
Ia menempuh sekolah dasar Gouvernement School selama 5 tahun di Talu dan tamat pada tahun 1921. Kemudian dia masuk ke sekolah guru khusus perempuan di Padang Panjang Meisjes Normaal School dan tamat pada tahun 1925. Setelah tamat di sekolah keguruan, Sariamin Ismail mulai menjadi guru dengan mengajar ke Bengkulu pada tahun 1925. Kemudian dia pindah ke Bukittinggi, saat itulah ia pernah menjadi ketua Jong Islamieten Bon Demes Afdeling cabang Bukittinggi pada tahun 1928-1930 dan setelah itu pindah ke Padang Panjang pada tahun 1930 dan terlibat sebagai editor untuk surat kabar Suara Kaum Ibu pada tahun 1934. Dan pada tahun 1939 pindah ke Aceh serta kemudian pindah ke Kuantan, Riau pada tahun 1941 sampai 1968. Bersama kepindahannya itu, Sariamin naik sebagai anggota parlemen daerah untuk Provinsi Riau setelah terpilih pada tahun 1947. Ketika menjadi guru itulah ia terus menulis di surat kabar untuk menambah penghasilannya.
Ia menulis untuk sejumlah surat kabar termasuk Pujangga Baru, Panji Pustaka, Asyara, Sunting Melayu, dan Bintang Hindia.
Menjadi seorang penulis pada saat penjajahan tidaklah mudah. Tantangan terbesarnya adalah ditangkap Belanda karena isi tulisannya dianggap menghasut rakyat. Maka agar tidak ditangkap oleh pihak yang berwenang dengan tulisannya yang mengandung unsur melawan kebijakan pemerintah kolonial ia menggunakan berbagai nama samaran.  Beberapa nama samaran yang pernah ia gunakan yaitu Seleguri, Selasih, Sikejut, Gelinggang, Sri  Gunting, Sri Tanjung, Ibu Sejati, Bundo Kanduang, Kak Sarinah dan Mande Rubiah.
Selasih adalah nama samaran yang digunakan dalam menulis novel pertamanya yang berjudul Kalau tak Untung diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1933 yang isi novelnya tidak menyinggung konflik antargenerasi atau perbenturan nilai-nilai adat dan modern, novel-novelnya lebih difokuskan mengenai kisah kasih tak sampai akibat keadaan sekitar misalnya adat dan agama, yang bertemu pada masa kecil, jatuh cinta, namun tidak pernah berhasil bersatu. Selain novelnya yang berjudul Kalau Tak Untung, karyanya yang lain di antarnya:
·       Pengaruh Keadaan (1937)
·       Puisi Baru (1946; antologi puisi)
·       Rangkaian Sastra (1952)
·       Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979; antologi puisi)
·       Panca Juara (1981)
·       Nakhoda Lancang dan Rancak di Labuah (1982)
·       Cerita Kak Murai, Kembali ke Pangkuan Ayah (1986)
·       Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (1990)
Sariamin Ismail. Nama belakang Sariamin merupakan nama suaminya, kerena pada tahun-tahun masa pendudukan Jepang ia di persunting oleh seorang pemuda bernama Ismail. Pada tahun 1943 ia melahirkan anak pertama yang diberi nama Suryahati Ismail dan pada tahun 1945 lahir anak keduanya yang diberi nama Suhartini Ismail. Ia terus menulis hingga akhirnya meninggal di PekanbaruRiau pada tanggal 15 Desember 1995 pada usia 86 tahun.
    Sinopsis "Kalau Tak Untung" Karya Selasih
Rasmani dan Masrul adalah dua orang sahabat karib. Rasmani hidup dalam keluarga yang amat sederhana bahkan bisa dikatakan kekurangan dalam rumah kecilnya. Namun, hal tersebut tidak lantas menjadikan Rasmani tidak bersekolah seperti kakaknya Dalipah yang harus berhenti sekolah. Sedangkan Masrul dalam kehidupannya tidaklah kekurangan. Persahabatan mereka berdua dimulai sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar. Ternyata persahabatan itu menimbulkan perasaan lain dalam diri Rasmani. Diam-diam dia mencintai pemuda yang begitu menyayanginya dan memanjakannya itu. Ketika Masrul harus pindah ke Painan untuk bekerja sebagai juru tulis, Rasmani pun akan menjadi guru bantu sekolah di desanya atas bantuan Masrul. Rasmani dengan berat hati melepaskannya. Perasaan ini pun dirasakan oleh Masrul.
Masrul diharuskan menikah dengan Aminah, anak mamaknya, dua tahun setelah ia mendapatkan banyak pengetahuan di Painan. Masrul melakukan itu karena terpaksa. Ia harus menuruti keinginan kaum kerabatnya, terutama ibunya. Ia pun menceritakan hal tersebut kepada Rasmani dan memintanya untuk mengajari Aminah berbagai keterampilan karena Masrul mengharapkan seorang istri yang pintar. Meskipun hati Rasmani sedih mendapati Masrul akan menikah dengan orang lain terlebih keluarga Aminah sendiri menganggapnya rendah. Namun, ia menuruti permintaan Masrul untuk mengajari Aminah.
Saat berada di perantauan Masrul mendapat tawaran dari Guru Kepala untuk menikahi anaknya yang bernama Muslina. Pada mulanya, Masrul menolak karena ternyata hati kecilnya lebih tertarik pada Rasmani yang telah lama dikenalnya. Selain itu, ia juga merasa tidak enak kepada Aminah dan kaum kerabatnya apabila ia mengingkari janjinya. Akan tetapi, karena kepintaran Guru Kepala dan istrinya itu mendesak Masrul, akhirnya Masrul menerima tawaran itu karena tertarik dengan kecantikan dan kedudukan Muslina yang berasal dari keluarga terpandang dan berpendidikan. Keputusan Masrul untuk menikah dengan Muslina membuat kaum kerabatnya kecewa dan marah besar. Perasaan Rasmani sendiri pun menjadi sedih.
Kehidupan rumah tangga Masrul dengan Muslina yang sudah membuahkan seorang anak, ternyata tidak berjalan serasi. Keduanya sering terjadi percekcokan. Hal itu disebabkan tidak dihargainya Masrul sebagai seorang suami. Akibatnya, Masrul sering tidak pulang ke rumahnya. Ia menghabiskan waktunya dengan bermabuk-mabukan. Keadaan yang semakin memburuk dan tidak ada tanda-tanda terselamatkan, membuat Masrul berpikir untuk menceraikan Muslina. Jawabannya pun tidak memuaskan hatinya sehingga keputusan cerai mutlak dilakukan.
Sementara itu, Rasmani yang sudah berkeinginan untuk tidak menikah setelah pujaan hatinya menikah dengan orang lain, bertambah hancur hatinya. Ia tidak bisa melawan rasa cintanya pada Masrul walaupun berbagai usaha dilakukannya, termasuk mengizinkan Masrul menikah dengan Muslina, keputusan yang sebenarnya bertentangan dengan hati nurani. Hal ini ditambah lagi dengan pernyataan Masrul belakangan, yang mengatakan bahwa selama ini hidupnya tidak beruntung dan sebetulnya ia mencintai Rasmani.
Kenyataan yang tidak diduga oleh Rasmani dan keluarganya adalah ketika Masrul muncul di kediamannya di Bukittinggi. Semua kejadian diceritakan oleh Masrul yang membuat Rasmani begitu sedih dengan penderitaan kekasihnya itu. Beberapa waktu kemudian, Masrul melamar Rasmani. Namun, sebelum mewujudkan pernikahannya, ia meminta izin untuk mencari pekerjaan terlebih dahulu karena sebelumnya ia telah mengundurkan diri dari pekerjaannya di Painan. Masrul ingin mencari pekerjaan di Medan, dengan harapan akan lebih cepat bekerja dengan bantuan adik Engku Rasad, teman baiknya di Painan. Akan tetapi sampai beberapa bulan lamanya, Masrul belum juga mendapatkan pekerjaan dan berita keadaan dirinya tak pernah dikabarkan kepada Rasmani. Hal ini membuat Rasmani berkecil hati dan menganggap Masrul tidak setia. Rasa putus asa Rasmani bertambah-tambah setelah Masrul mengatakan dalam suratnya bahwa Rasmani tidak usah menunggunya kalau ada orang lain mencintainya. Keputusan Masrul itu membuat Rasmani jatuh sakit. Rupanya sakit Rasmani yang hampir sembuh dengan kedatangan  Dalipah, kakaknya yang selalu mendampinginya dalam kesedihan, kambuh lagi karena dikabarkan bahwa Masrul berhasil mendapatkan pekerjaan dan membatalkan keputusan yang dulu disampaikan kepada Rasmani yang tetap akan menikah dengan Rasmani dan meminta Rasmani agar datang ke Medan. Namun karena sakitnya yang semakin bertambah membuat Rasmani akhirnya meninggal tanpa disaksikan Masrul yang datang terlambat.
  Unsur Pembangun Karya Sastra
Sebuah karya sastra mempunyai unsur-unsur yang membangun cerita tersebut, adapun unsur yang dimaksud tersebut adalah unsur dalam (intrinsik) dan unsur luar (ekstrinsik). Berikut ini akan dibahas secara singkat mengenai unsur-unsur pembangun dalam karya sastra.
1)      Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan sistem organisme karya satra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan.
Ada  beberapa unsur ekstrinsik di luar dari karya itu sendiri, unsur yang dimaksud antara lain biografi pengarang, buah pikiran pengarang, serta latar sosial-budaya yang dapat mendukung kehadiran karya sastra. Ini berarti menunjukan bahwa karya sastra lahir tanpa adanya kekosongan budaya.
2)      Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra itu sendiri. Unsure-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra imajinasi seorang pengarang. Unsur-unsur secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsic sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita paduan antar berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel terwujud. Unsure intrinsic tersebut adalah tema, tokoh dan penokohan, alur, sudut pandang, latar (setting), gaya bahasa, serta amanat.[1]
a.       Tema
Tema menurut Stanton dan Kenny yang dikutip dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, Burhan Nurgiantoro adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun ada banyak makna yang dikandung dalam sebuah novel, maka haruslah ditentukan makna khusus mana yang menjadi ide dari cerita tersebut.
Tema utama dalam novel Kalau Tak Untung adalah kasih tak sampai. Dalam novel ini tidak hanya tema tersebut yang merangkai cerita. Adapun kasih tak sampai yang dialami tokoh Masrul dan Rasmani karena persoalan adat dan budaya. Seperti pda kutipan berikut:
Saya suka kepada anak itu, tetapi tak suka saya ia menjadi istrimu. Benar ia anak datuk dan kemenakan juga dari bapakmu, tapi tak patut engkau naik ke rumah itu. Tak seperti itu rumah tempat dudukmu. Lagi pula Ramani tak tahu sebuah juga, manja tak berketentuan. Semua orang mengatakan mereka tak tahu diuntung. Saya suka pada mereka karena baikbudiya dan pandai membawakan diri. Orang tua Rasmani tentu tak lupa memikat-mikat kamu, supaya mau jadi menantunya dan engkau tentu buta dan pekak karena mulut manis orang. (hlm. 31 cetakan kedua puluh tiga, 2001)
Adapun ibu Masrul tidak menyetujui percintaan mereka berdua, karena anggapan orang minang yang layak untuk dijadikan istri hanyalah perempuan yang pandai mengurus rumah tangga, tidak seperti Rasmani yang tekenal manja kepada orang tuanya.
Namun, ada juga tema sampingan yang merangkai seperti tema pendidikan, sosial, moral, pengorbanan, adat istiadat, kesetiaan.
b.      Tokoh dan Penokohan
Berbicara masalah tokoh dan penokohan ini merupakan salah satu hal yang penting kehadirannya dalam sebuah karya sastra dan bahkan sangat menentukan, karena tidak akan mungkin ada suatu karya sastra tanpa adanya tokoh yang diceritakan. Penokohan adalah proses penampilan tokoh dengan pemberian watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita.[2]
Adapun tokoh yang terdapat didalam novel kalau tak untung, yaitu:
1)      Masrul adalah tokoh yang dimulai dengan perwatakan yang baik, namun ditengah perjalanan kehidupannya banyak cobaan yang ia alami. Kebimbangan dalam hal cinta menjadi salah satu cobaan berat baginya.
Memiliki watak perhatian, terlihat pada kutipan:
Ketika Masrul melihat badju rasmani telah basah, berkatalah ia : ‘’ Etek biarlah Rasmani berdjalan dengan saja pulanglah etek ! Rasmani, buangkanlah daun pisangmu!” (hlm. 17)
Memiliki watak sabar kepada orang tuanya, terlihat pada kutipan:
Panas besar hati Masrul mendengar tuduhan ibunja itu. Kalau tidak ibunja jang mengatakan itu, tentu akan dibalasnja dengan jang sepatutnya. Tetapi sekarang ia berhadapan dengan ibu kandungnja, sebab itu marahja harus ditahannja.
Tak baik ibu salah sangka seperti itu. Sampai sekarang belum teringat dihati saja akan memulangi Rasmani. Saja sajang kepadanja, tak ubahnja sebagai adik kandung. Bukankah ibu tahu djuga bahasa telah lebih dari lima tahun kami bersahabat…” (hlm.40-41)
           Memiliki watak mengingkari janji, terlihat pada kutipan:
Ajahanda bunda mempertunangkan anakanda dengan Aminah anak mamak tua dan anakanda telah berdjanji akan menurut kehendak ajahanda bunda itu. Tetapi rupanja setelah anakanda pikir pandjang lebar dan anakanda menung-menungkan dalam dua tahun tak dapat rasanja anakanda menepati djandji anakanda itu. Banjak benar alangannja pada anakanda…(hlm.110)
Memiliki watak tidak memiliki pendirian, terlihat pada kutipan:
Dengan hal jang demikian Masrul jang tadinya telah tetap pendiriannja, hatinja mulai berkatjau lagi. Muka Muslinah, bintang timur itu selalu terbajang-bajang dimatanja. Mula-mula dilawannja sekuat-kuatnja, tetapi ia kemudian kalahlah ia dalam peperangan itu… (hal.106)
“bodoh benar aku tak menghargakan kurnia tuhan, tak memungut durian runtuh,” pikir Masrul dalam hatinja.(hlm.107)
Memiliki watak kasar dan melanggar perintah agama, terlihat dalam kutipan:
Dengan hati yang panas dan kesal hati yang tak terahan-tahan, dihelakannjalah alas medja itu sehingga semua jang diatasnja djatuh kelantai dan hantjur luluh... (hlm.137)
“Sekarang ia akan tinggal, sekampung pula dengan engku guru Rasad, seorang jang hidup bersih, jang selalu menurut perintah Allah.
Dan ia? Tahukah ia sekarang dimana masjid, tahukah ia dimana surau, apabilakah padanja waktu magrib, waktu isja dan lain-lain?
“Ja, Allah,” katanja, “patutkah saja menjebut nama-Mu? Saja jang tak pernah lagi menurut perintahMu?” (hlm.136)
2)      Rasmani adalah sahabat, saudara, serta menjadi kekasih Masrul. Ia adalah tokoh yang  memiliki sifat manja kepada orang tuanya, manja  dalam hal hati dan badan sehingga hatinya selalu terjaga agar tidak mudah tersinggung, dan sabar serta setia menjalani hidupnya
Memiliki watak Penurut kepada kedua orang tuanya, terlihat pada kutipan:
“Djangan duduk lagi, ambil sabun dan basahan, pergilah kesungai, sebentar ibu datang.” Perintah ini pun  dengan segera diturut oleh Rasmani. Diambilnja sekalian jang disuruhkan ibunja itu dan berjalanlah ia kesebelah batang air, tiada berapa djauh dari rumahja.(hlm.7)
Memiliki watak penyabar, terlihat pada kutipan:
Lagi pula bukankah dibuatja itu tidak untuk aminah, melainkan untuk masrul, untuk bahagia masrul? Bukankah ia tak suka masrul akan hidup tak beruntung? “Baik kakanda,” katanja dalam hatinja, “adinda akan mengeluarkan segala tenaga adinda, agar tuan mendapat bahagia dalam hidupmu. Adinda tak akan membalas dendam; adinda akan memperlihatkan siapa adinda jang selalu disjaki ditjemburui, dihina, ditjemoohkan.” (hlm.65)
3)      Ibu Rasmani (Etek Djaura) adalah tokoh yang peduli kepada pendidikan anaknya dan peduli terhadap perasaan anak-anaknya.
Memiliki watak pengasih dan penyayang kepada anaknya, seperti pada kutipan:
Dengan muka yang djernih dan tenang ditjempungkan ibunya Rasmani kedalam air, disabunnja seluruh tubuh anaknja itu dan digosoknja dengan hati-hati...(hlm.7)
4)      Ayah Rasmani (Datuk Sinaro) adalah tokoh yang peduli kepada pendidikan anaknya dan peduli terhadap perasaan anak-anaknya.
Memiliki watak pengasih dan penyayang kepada anaknya, seperti pada kutipan:
Kemarin ketika saja mendjemput Rasmani dari sekolah mengadji, hampir sampai kelutut tinggi air didjalan raja. Iba hati saja melihat anak itu, tiap hari sadja ia berhudjan-hudjan. Akan disuruh tempo beladjar tak mungkin, pertama ia akan ketinggalan dari kawannja, baik disekolah pagi ataupun disekolah mengadji; kedua tentu kita mengadjar ia malas. Saja takut kalau-kalau anak kesehatan badanja terganggu, karena selalu berdingin-dingin…(hlm.10)
5)      Dalipah adalah kakak kandung rasmani yang menyayangi adiknya serta pandai menghibur hati adiknya di saat adiknya sedang bersedih.
Memiliki watak penyayang kepada adiknya, terlihat pada kutipan:
Dengan hati-hati disisirnja rambut adiknja itu, didjalinnja baik-baik dan diikatja dengan pertja kain tadi. Sudah itu pergilah dalipah ke dapur, diambilnja nasi sedikit dan diberikannja kepada adiknja itu.(hlm.8)
6)      Ibu Masrul adalah orang tua yang sangat egois untuk kebaikan anaknya
Memiliki watak egois. Terlihat pada kutipan:
O, sekarang engkau telah besar, tahu engkau dipenat akan menurut rumah mamakmu. Dahulu ketika ketjil, ketika akan meminta kain sarung atau badju djas, rumah-rumah itu tidak djauh, tak pernah bengkak kakimu berdjalan pergi kesitu. Ia pula, orangsekarang sudah mendjadi engku djurutulis tak pandai berjalan lagi,”kata ibu masrul yang memperlihatkan kesal hatinja. (hlm 39)
7)      Muslina adalah istri masrul yang kemudian diceraikannya karena, keras kepala dan suka merendahkan suaminya sendiri karena gaji yang didapatkan suaminya lebih sedikit dari pada kekayaan yang dimiliki orang tua Muslina. Ia berparas cantik bagai bintang timur dan anak dari orang tua yang kaya yaitu engku guru gendang.
Memiliki watak keras kepala dan suka meremehkan suaminya, terlihat pada kutipan:
Apakah jang telah kau perbuat? Mengapa kau petjahkan piring-piring itu? Bukankah tak belianmu itu? Barang jang kita beli jang akan dipetjah-petjah, tetapi djangan harta orang lain. tak sebesar miang, sebesar rambut dibelah tudjuh barang pembelianmu dirumah ini, smeuanja pembelian bapa saja. Untuk pengisi perut sadja tak tjukup gadjimu. Pembeli biermu dan penjewa komidi gambarmu telah habis. Lali-laki jang tak berperasaan! Anak isterinja ditinggalkannja, ia mentjari pelesiran diluar rumah,sepandjang djalan raja. Tak tahu berterima kasih. Harta orang dihabiskan. Sudah litjin semuanja!” (hlm.138)
8)      Engku Guru Rasad adalah orang yang baik hati, peramah dan amat tajam pemikirannya. Berbudi dan disegani oleh kawan-kawannya. Engku guru rasad jugalah yang menolong kehidupan rumah tangga masrul dengan muslin.
Memiliki watak yang baik, yang diceritakan oleh tokoh utama dalam sebuah percakapan, terlihat pada kutipan:
Dalam pada itu abang mendapat seorang sahabat jang sebenarnja tulus dan ichlas. Ia guru kepala di Padang, naik dari guru bantu dari paian. Engku Muhammad rasad mentjoba member nasihat isteri abang, dan mendekatkan diri kepada abang, sehingga berkuranglah buruknja kehidupan abang...” (hlm.179)
9)      Mak Sawi’ah dan Engku Djaksa adalah seorang pemilik tempat tinggal masrul ketika berada di Painan, ia adalah orang yang menganggap masrul seperti anaknya sendiri.
Memiliki watak yang baik, terlihat pada kutipan:
“Hendak kemana engku Masrul? Minumlah dahulu, air teh telah saja sediakan diruang tengah!”(hlm.73)

Pada kami ia telah serasa anak pula, karena pandainja mengambil hati, apa lagi kami tak ada beranak laki-laki. Tak ada orang jang demikian lakunya kepada kami, meskipun telah banjak kami membesarkan anak orang...”(hlm.84)
10)  Orang tua (nenek) adalah  pemilik sebuah pondok yang tempat singgah Mani ketika kehujanan saat ingn pergi ke sekolah. Nenek ini memiliki punggung yang bungkuk, mata dan gigi yang masih baik dan juga gigi dan suaranya. Selain itu nenek ini memiliki pondok yang tidak pernah sepi dengan pasien yang meminta obat dan yang menuntut ilmu kepadanya.
Memiliki watak yang baik, terlihat pada kutipan:
“Makanlah ini akan obat-obat dingin, meskipun barangkali bukan makanan guru sekolah,”katanya sambil berolok-olok...” (hlm.121)
11)  Engku Guru Gedang dan istrinya adalah orang yang memasukan perangkap untuk masrul, dengan memancing dan memikatnya dengan harta yang tujuannya agar Masrul menikahi puterinya.
Memiliki watak licik, terlihat pada kutipan:
“Ah engku tak tahu. Engku itu betul-betul telah masuk perangkap. Engku guru gedang dan isterinja orang jang manis mulut benar. Dengan mudah ia mendjalankan taktiknya, sehingga seorang ken djeratnja. Engku Masul dirapatinja dan pikat-pikatnja. Ketika engku itu masih baru, ketika ia belum bersahabat dan menghargai sekalian kebaikan dan persahabatan jang diundjukkan oleh berkelilingnja dan ketika belum ada orang jang dapat memberi nasihat jang baik kepadanja…(hlm.127)
12)  Engku Opziere adalah penilik sekolah yang menolong Masrul supaya rasmani dapat menjadi guru yang dicita-citakan.
Memiliki watak baik, terlihat pada kutipan:
“Biarlah saja usahakan supaja lekas ia dapat pekerdjaan,”kata engku opziere itu memutuskan perkataan masrul. (hlm.45)
c.       Alur
Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi.[3] Alur dibangun oleh beberapa unsur, yaitu perkenalan, pertikaian, perumitan, klimaks, peleraian akhir. Unsur-unsur alu tidak selalu berurutan, tetapi ada yang dari tengah terlebih dahulu, lalu ke peristiwa awal, kemudian akhir. Adapula yang dari akhir terus menuju ke tengah kemudian sampai ke awal.[4]
Alur yang digunakan dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih ini menggunakan alur maju. Karena jika kita simak peristiwa dalam novel ini bergerak maju secara bertahap berdasarkan urutan kronologis.
“Dalam novel tersebut, di awali dengan kisah hidup seorang gadis kecil bernama Rasmani yang hidup di sebuah rumah kecil bersama kedua orang tua, adik dan kakaknya. Iya bersahabat dengan Masrul yang sudah seperti kakak sendiri baginya, begitu pula Masrul yang sayang kepada Rasmani selaku adiknya. Namun, semakin besar ternyata perasaan sayang Rasmani kepada Masrul tidak hanya perasaan sayang adik terhadap kakak saja namun berubah menjadi kasih sayang seorang perempuan terhadap lelaki seutuhnya. Sebenarnya begitu pula perasaan Masrul, yang mengagumi kecakapan Rasmani sehingga sayang pula ia kepada Rasmani.
Masul dihadapkan pada posisi bahwa ia harus pergi ke Painan untuk mengerjakan pekerjaannya sebagai juru tulis. Dengan berat hati ia harus berpisah dengan Rasmani serta kaum keluarga Rasmani yang sudah dianggapnya sebagai keluarga kandungnya sendiri. Namun, sebelum kepergiannya ke Painan Masrul di jodohkan dengan Aminah anak mamaknya. Dengan terpaksa Masrul menuruti permintaan ibu serta kaum keluarganya yang akan diperjodohkan dengan Aminah setelah dua tahun Masrul merantau di Painan.
Di Painan, Masrul jatuh cinta pada seorang gadis bernama Muslina karena kecantikan dan kekayaan orang tua Muslina. Meskipun Masrul sendiri ragu dengan pilihan yang akan diambilnya namun, pada akhirnya ia memilih menikahi Muslina dan memutuskan pertunangannya dengan Aminah serta mulai melupakan rasa kasihnya terhadap Rasmani. Pernikahan Masrul dan Muslina tidak berjalan baik sehingga timbul percekcokan yang membuat mereka akhirnya bercerai. Masrul menyesali atas pilihan yang telah diambilnya sehingga memutuskan pulang ke kampungnya dan menemui serta meminta Rasmani untuk menikah dengannya. Namun, ia harus mencari kerja dulu di Medan, berbagai masalah pun timbul semenjak kepergiaannya ke Medan yang menjadikan Rasmani jatuh sakit, yang semakin lama kian parah sampai akhirnya penyakitnya tidak tertolong yang mengakibatkan berujung kematian sebelum keduanya berhasil menikah.”
Setelah merunuti kronologis cerita yang memiliki alur maju tersebut, akan semakin jelas jika tahapan-tahapan alur dalam novel tersebut kembali diuraikan dengan lima tahapan alur. Berikut ringkasannya:
1)      Tahap Pengenalan
Dalam novel ini penulis mengawali ceritanya dengan menggambarkan kehidupan seorang gadis bernama Rasmani dengan keluarganya, serta pergaulannya dengan sahabat karibnya Masrul. Persahabatan mereka pun sangat erat sehingga Masrul dan keluarga Rasmani pun sudah seperti kerabat. Persahabatan mereka pun terjalin hingga keduanya dewasa.
2)      Tahap Pemunculan Konflik
Masrul diharuskan pergi ke Painan untuk bekerja sehingga membuatnya sedih karena harus meninggalkan kaum keluarganya terutama Rasmani. Begitu pula Rasmani yang turut sedih atas kepergian Masrul. Sebelum pergi Masrul telah dijodohkan dengan Aminah anak mamaknya dan akan berlangsung setelah dua tahun Masrul di Painan. Masrul menghendaki memiliki Istri yang cakap sehingga ia meminta Rasmani untuk mengajari Aminah berbagai kecakapan.
3)      Tahap Peningkatan Konflik
Di Painan Masrul diminta untuk menikahi putri dari Engku Guru Gedang yaitu Muslina. Sehingga, pikirannya bimbang hendak memilih siapa. Sedangkan ia telah di jodohkan dengan Aminah dan ia pula mencintai Rasmani. Namun, akhirnya pilihan jatuh terhadap Muslina. Keputusannya itu membuat seluruh kaum kerabatnya kecewa dan marah, Rasmani pun menjadi kecewa.
4)      Tahap Klimaks
Pernikahannya ternyata tidaklah membahagiakan, sering kali terjadi percekcokan yang disebabkan kurang menghargainya Muslina sebagai istri terhadap Masrul, Masrul pun jarang pulang bahkan terkadang minum bir. Percekcokan semakin parah sehingga berakhir perceraian. Usai perceraian Masrul menyadari kesalahannya sehingga ia hendak kembali kepada Rasmani dan meminta menikah dengannya. Namun setelah kepergiannya mencari kerja di Medan membawa kabar buruk yang terus membuat Rasmani jatuh sakit akibat isi surat Masrul yang awalnya mengatakan bahwa ia telah rela melepaskan Rasmani untuk orang lain. Namun, pada surat berikutnya menyatakan bahwa Masrul telah mendapat kerja dan ingin segera bertemu dan menikah. Hal tersebut menjadikan penyakit Rasmani semakin memburuk dan akhirnya meninggal dunia
5)      Tahap Penyelesaian
Masrul pulang ke ke tanah kelahirannya untuk menemui Rasmani dengan harapan masih bisa hidup bahagia bersamanya. Namun, pada kenyataannya Masrul terlambat karena Rasmani telah meninggal sehari sebelum ia berhasil menemuinya. Masrul menyesal dan menyadari apa yang telah menimpanya adalah hukuman atas kesalahannya. Sehingga Rasmani meninggal tanpa merasakan kebahagiaan.
d.      Latar
Menurut Abrams latar atau setting yang disebut juga sebagai tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya persitiwa-peristiwa yang diceritakan.
1)      Latar Tempat
Adapun setiap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel Kalau Tak Untung karya selasih terjadi dibeberpa tempat.
di Painan, tempat masrul merantau untuk sebuah pekerjaan. Seperti pada kutipan  berikut:
                  Painan masih di daerah kita djua. Itulah adat kita                            laki-laki, berdjalan meninggalkan kampong                                                 halaman membawa peruntungan...” (hlm.28)
Di kota padang, Djati. tempat masrul dan muslina tinggal setelah mereka menikah. Sperti pada kutipan berikut :
“Hari telah pukul tengah sebelas malam . kota padang jang tadinja hiruk-pikuk telah mulai hening.”(Hlm.132)

...Di djati engku, datanglah engku sekali-kali kerumah kami...(hlm.133)

Di Bondjol, kampung halaman masrul. Masrul memutuskan kembali ke Bondjol sesudah ia menceraikan Muslina.
Beberapa hari sesduah masrul sampai di Bondjol dibuatnja surat untuk Rasmani, mentjeritakan pertemuanja dengan ibunja... (hlm.182)
Di kota medan, tempat masrul hendak mencari pekerjaan
Mani, djika baik untung abang, djika takdirnja abang dapat pekerdjaan jang sesuai dengan abanng, maukah engkau menurutkan abang ke Medan?  (hlm.186)
2)      Latar Waktu
Latar waktu dalam novel Kalau Tak Untung yaitu pada pagi hari, petang dan malam digambarkan secara jelas. Seperti:
Suaminja tak pernah menjesalinja karena kemiskinanja, melainkan serta membanting tulang dari pagi sampai petang, mentjari nafkah untuk mereka anak beranak. (hlm.13)
Perkara jang saja katan malam kemarin itu. Kalau mamakmu menanja pikiranmu, katakana engkau berpikir dahulu, djangan mengeras-ngeras sadja seperti berkata dengan Ibu dahulu. (hlm. 39)
3)      Latar Sosial dan Budaya
Beberapa kutipan yang terdapat dalam novel Kalau Tak Untung secara jelas menggabarkan kondisi sosial dan budaya masyarakat pada waktu itu. Seperti kutipan berikut ini:
“Itulah kesalahan jang banjak benar terdapat di kampung ini, masrul, anak laki-laki jang berumurdelapan atau Sembilan belas tahun telah wadjib dikawinkan; anak perempuan berumur empat belas tahun sadja telah besar benar. (hlm.31)

Bagi kita di kampung ini bukan orang jang pandai menulis membatja sadja, dikatakan masak adjar dan disukai orang; melainkan anak jang pandai ke sawah dan ke lading, sigap mengerdjakan tumbuk dan tanak, tahu bekerdja dalam rumah, tahu dibasa-basi tjara kampung, tahu membawakan diri setjara zanak perempuan, disebut masak adjar pula. (hlm.35)
e.       Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton digunakan sebagai sarana cerita, Literary Device. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa yang menceritakan atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat.[5]
Sudut pandang yang digunakan pada novel ini adalah sudut pandang orang ketiga. Karena pengarang menampilkan tokoh dengan menggunakan orang ketiga, seperti ia, dia, atau nama orang.
Setiba di rumah, Masrul pergi sekali ke biliknya, direbahkannya badannya dan dibukanya surat Rasmani lambat-lambat. Amat sukar ia membacanya, karena tulisan surat itu tak jelas dan kepalanya pusing, kesedihan meliputi jiwa hati dan jantungnya. (hlm 155 cetakan kedua puluh tiga 2001)
f.       Gaya Bahasa
Setiap prang yang menggubah teks dihadapkan pada cara menggunakan bahasa, yaitu memilih kata, merangkaikan kata menjadi kalimat, menggabungkan kalimat menjadi teks. Penggunaan kata pada teks bergantung pada pokok dan tujuan teks yang bersangkutan.[6]
gaya bahasa yang digunakan novel ini adalah bahasa Melayu Minang,  juga beberapa istilah dari bahasa Asing. Dan ada pula beberapa kalimat yang bermajas.
1)      Bahasa Asing
Engku, bukan tentang saya, melainkan hal Rasmani. Barangkali masih ingat Engku akan anak perempuan yang maju pada eksamen kweekeling enam bulan yang lalu. (Halaman 33 cetakan kedua puluh tiga 2001)
Kalau engkau berpikir sedikit, tentu engkau tak akan mengeluarkan perkataan seperti itu. Di mana saya dapat main, kalau tak pernah beruang sesen juga dalam saku? Yang saya belikan ke minuman sekali-sekali dan saya sewakan ke komidi gambar itu, bukankah uang rokok yang engkau berikan tiap-tiap hari dan biarlah saya mengaku sekarang, memang ada juga saya ambil uang Overwerk saya sedikit-sedikit. (hlm 103 cetakan kedua puluh tiga 2001)
2)      Bahasa Melayu Minang
Etek, janganlah etek menyebut ini-itu. (hlm 40 cetakan kedua puluh tiga 2001)
3)      Majas Hiperbola adalah majas perbandingan yang melukiskan sesuatu dengan mengganti peristiwa atau tindakan sesungguhnya dengan kata-kata yang lebih hebat pengertiannya untuk menyangatkan arti.
Muka Muslina, bintang timur Painan itu selalu terbayang-bayang di matanya. (hlm 79 cetakan kedua puluh tiga 2001)
Suaminya tak pernah menyesalinya karena kemiskinannya, melaikan serta membanting tulang dari pagi sampai petang. (hlm 13 cetakan kedua puluh tiga 2001)
4)      Majas Antitesis adalah majas pertentangan yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan kepaduan kata yang berlawanan arti.
Istri ialah kawan hidup yang akan dippercermin suaminya pagi dan petang, siang-malam. (hlm 74 cetakan kedua puluh tiga 2001)
5)      Majas Asosiasi atau Simile adalah majas perbandingan yang memperbandingkan sesuatu dengan keadaan lain karena adanya persamaan sifat. Seperti bak, umpama, laksana, ibarat, sebagai.
Mengapakah ia kemari? Tepokah ia? Karena sakit? Alangkah kurusnya! Pucat sebagai mayat. (hlm 128 cetakan kedua puluh tiga 2001)
        Kami ini ibarat kembang, Bagus dipakai, layu dibuang.(hlm 120 cetakan kedua puluh tiga 2001)
6)      Majas Repetisi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mengulang kata atau beberapa kata berkali-kali.
…ah di mana gerangan penjaraku…, di rumah ibuku … di mana … di mana … di mana … Dik? (hlm 156 cetakan kedua puluh tiga 2001)
g.      Amanat
Amanat adalah suatu pesan yang disampain oleh pengarang lewat karyanya kepada para pembaca.[7]
Amanat yang dapat diambil setelah membaca novel ini yaitu,
1.      jangan mudah menyepelekan janji karena janji akan membawa kita ke dalam tanggung jawab yang besar,
2.      jangan membantah perkataan orang tua kita karena orangtualah yang  mengerti akan kebaikan untuk anaknya,
3.      jangan memberikan harapan kepada seseorang yang sudah jelas menyayangi kita, karena orang tersebutlah yang sudah berjasa dalam menghibur hati kita yang ketika mengalami kesusahan dan kesenangan,
4.      jangan melupakan kewajiban terhadap tuhan, karena hanya kepada tuhanlah kita dapat memohon pertolongan dan mendapatkan petunjuknya melalui do’a.
5.      jangan membuat suatu keputusan tanpa memikirkan dampak buruk keputusan itu.




[1] Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. Gajah Mada University, 2013. Hlm 22.
[2] Ibid, hlm 83.
[3] Ibid, hlm 183.
[4] Widjoko dan Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung. UPI Press, 2006. Hlm 46-47.
[5] Burhan Nurgiyantoro. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. Gajah Mada University, 2013. Hlm 246.
[6] Luxemburg, jan van, dkk. Tentang Sastra. Jakarta. Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan, 1989. Hlm 59.
[7] Abdul Rojak Zaidan. Kamus Istilah Sastra. jakarta. Balai Pustaka, 2007. Hlm27. 

Biografi, Sinopsis dan Unsur Intrinsik "Kalau Tak Untung" Karya Selasih

BiBiografi Tokoh "Selasih" Hj. Sariamin Ismail selain dikenal sebagai seorang sastrawan juga merupakan salah seorang tokoh dan ...