BiBiografi Tokoh "Selasih"
Hj. Sariamin
Ismail selain dikenal sebagai seorang sastrawan juga merupakan salah seorang
tokoh dan pemikir pendidikan pergerakan Nasional. Dilahirkan oleh seorang ibu
bernama Sari Uyah dan bapaknya bernama Lau yang bergelar Dt. Raja Malintang.
Anak kedua dari lima bersaudara ini lahir di kampung Koto Panjang desa Sunurut,
Talu, Pasaman, Sumatra Barat pada tanggal 31 Juli tahun 1909.
Basariah adalah
namanya sewaktu lahir. Namun, karena sering sakit diganti oleh neneknya yang
bernama Siti Sari Enam menjadi Sari Amin. Waktu SD ia menulis namanya dengan
dua kata tersebut. Namun, agar lebih manis ia mengubah menjadi satu kata yaitu
Sariamin. Anak kedua dari lima bersaudara ini menyenangi dunia menulis sejak
masih kecil, ia pertama kali menulis syair-syair dalam bentuk puisi. Kakaknya
bernama Sari Hikmah (Rakimah) dan memiliki tiga adik yaitu Abdul Djabar,
Sarikam dan Djusna Lau.
Nama Ny.
Sariamin Ismail adalah nama ia setelah menikah. Dalam dunia menulisnya ia
menggunakan nama samaran. Bahkan, nama samarannya bisa dikatakan
banyak. Selain menulis novel ia juga banyak menulis di surat kabar.
Ia menempuh
sekolah dasar Gouvernement School selama 5 tahun di Talu dan tamat pada
tahun 1921. Kemudian dia masuk ke sekolah guru
khusus perempuan di Padang Panjang Meisjes Normaal School dan
tamat pada tahun 1925. Setelah tamat di sekolah keguruan, Sariamin Ismail mulai
menjadi guru dengan mengajar ke Bengkulu pada tahun 1925. Kemudian dia pindah
ke Bukittinggi, saat itulah ia pernah menjadi ketua Jong Islamieten Bon
Demes Afdeling cabang Bukittinggi pada tahun 1928-1930 dan setelah itu
pindah ke Padang Panjang pada tahun 1930 dan terlibat sebagai editor untuk surat
kabar Suara Kaum Ibu pada tahun 1934. Dan pada tahun 1939 pindah ke
Aceh serta kemudian pindah ke Kuantan, Riau pada tahun 1941 sampai 1968.
Bersama kepindahannya itu, Sariamin naik sebagai anggota parlemen daerah untuk
Provinsi Riau setelah terpilih pada tahun 1947. Ketika menjadi guru itulah ia
terus menulis di surat kabar untuk menambah penghasilannya.
Ia menulis
untuk sejumlah surat kabar termasuk Pujangga
Baru, Panji
Pustaka, Asyara, Sunting Melayu, dan Bintang Hindia.
Menjadi seorang
penulis pada saat penjajahan tidaklah mudah. Tantangan terbesarnya adalah
ditangkap Belanda karena isi tulisannya dianggap menghasut rakyat. Maka agar
tidak ditangkap oleh pihak yang berwenang dengan tulisannya yang mengandung
unsur melawan kebijakan pemerintah kolonial ia menggunakan berbagai nama samaran.
Beberapa nama samaran yang pernah ia gunakan yaitu Seleguri, Selasih,
Sikejut, Gelinggang, Sri Gunting, Sri
Tanjung, Ibu Sejati, Bundo Kanduang, Kak Sarinah dan Mande Rubiah.
Selasih adalah
nama samaran yang digunakan dalam menulis novel pertamanya yang berjudul Kalau
tak Untung diterbitkan oleh Balai
Pustaka pada 1933
yang isi novelnya tidak menyinggung konflik antargenerasi atau perbenturan
nilai-nilai adat dan modern, novel-novelnya lebih difokuskan mengenai
kisah kasih tak sampai akibat keadaan sekitar misalnya adat dan agama, yang bertemu
pada masa kecil, jatuh cinta, namun tidak pernah berhasil bersatu. Selain
novelnya yang berjudul Kalau Tak Untung, karyanya yang lain di antarnya:
·
Pengaruh Keadaan (1937)
·
Puisi Baru (1946;
antologi puisi)
·
Rangkaian Sastra (1952)
·
Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979; antologi puisi)
·
Panca Juara (1981)
·
Nakhoda Lancang dan Rancak
di Labuah (1982)
·
Cerita Kak Murai, Kembali ke Pangkuan Ayah (1986)
·
Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (1990)
Sariamin
Ismail. Nama belakang Sariamin merupakan nama suaminya, kerena pada tahun-tahun
masa pendudukan Jepang ia di persunting oleh seorang pemuda bernama Ismail.
Pada tahun 1943 ia melahirkan anak pertama yang diberi nama Suryahati Ismail
dan pada tahun 1945 lahir anak keduanya yang diberi nama Suhartini Ismail. Ia
terus menulis hingga akhirnya meninggal di Pekanbaru, Riau pada tanggal 15
Desember 1995 pada usia 86 tahun.
Sinopsis "Kalau Tak Untung" Karya Selasih
Rasmani dan
Masrul adalah dua orang sahabat karib. Rasmani hidup dalam keluarga yang amat
sederhana bahkan bisa dikatakan kekurangan dalam rumah kecilnya. Namun, hal
tersebut tidak lantas menjadikan Rasmani tidak bersekolah seperti kakaknya
Dalipah yang harus berhenti sekolah. Sedangkan Masrul dalam kehidupannya
tidaklah kekurangan. Persahabatan mereka berdua dimulai sejak mereka duduk di
bangku sekolah dasar. Ternyata persahabatan itu menimbulkan perasaan lain dalam
diri Rasmani. Diam-diam dia mencintai pemuda yang begitu menyayanginya dan
memanjakannya itu. Ketika Masrul harus pindah ke Painan untuk bekerja sebagai juru
tulis, Rasmani pun akan menjadi guru bantu sekolah di desanya atas bantuan
Masrul. Rasmani dengan berat hati melepaskannya. Perasaan ini pun dirasakan
oleh Masrul.
Masrul
diharuskan menikah dengan Aminah, anak mamaknya, dua tahun setelah ia
mendapatkan banyak pengetahuan di Painan. Masrul melakukan itu karena terpaksa.
Ia harus menuruti keinginan kaum kerabatnya, terutama ibunya. Ia pun
menceritakan hal tersebut kepada Rasmani dan memintanya untuk mengajari Aminah
berbagai keterampilan karena Masrul mengharapkan seorang istri yang pintar.
Meskipun hati Rasmani sedih mendapati Masrul akan menikah dengan orang lain
terlebih keluarga Aminah sendiri menganggapnya rendah. Namun, ia menuruti
permintaan Masrul untuk mengajari Aminah.
Saat berada di
perantauan Masrul mendapat tawaran dari Guru Kepala untuk menikahi anaknya yang
bernama Muslina. Pada mulanya, Masrul menolak karena ternyata hati kecilnya
lebih tertarik pada Rasmani yang telah lama dikenalnya. Selain itu, ia juga
merasa tidak enak kepada Aminah dan kaum kerabatnya apabila ia mengingkari
janjinya. Akan tetapi, karena kepintaran Guru Kepala dan istrinya itu mendesak
Masrul, akhirnya Masrul menerima tawaran itu karena tertarik dengan kecantikan
dan kedudukan Muslina yang berasal dari keluarga terpandang dan berpendidikan.
Keputusan Masrul untuk menikah dengan Muslina membuat kaum kerabatnya kecewa
dan marah besar. Perasaan Rasmani sendiri pun menjadi sedih.
Kehidupan rumah
tangga Masrul dengan Muslina yang sudah membuahkan seorang anak, ternyata tidak
berjalan serasi. Keduanya sering terjadi percekcokan. Hal itu disebabkan tidak
dihargainya Masrul sebagai seorang suami. Akibatnya, Masrul sering tidak pulang
ke rumahnya. Ia menghabiskan waktunya dengan bermabuk-mabukan. Keadaan yang
semakin memburuk dan tidak ada tanda-tanda terselamatkan, membuat Masrul
berpikir untuk menceraikan Muslina. Jawabannya pun tidak memuaskan hatinya
sehingga keputusan cerai mutlak dilakukan.
Sementara itu,
Rasmani yang sudah berkeinginan untuk tidak menikah setelah pujaan hatinya
menikah dengan orang lain, bertambah hancur hatinya. Ia tidak bisa melawan rasa
cintanya pada Masrul walaupun berbagai usaha dilakukannya, termasuk mengizinkan
Masrul menikah dengan Muslina, keputusan yang sebenarnya bertentangan dengan
hati nurani. Hal ini ditambah lagi dengan pernyataan Masrul belakangan, yang
mengatakan bahwa selama ini hidupnya tidak beruntung dan sebetulnya ia
mencintai Rasmani.
Kenyataan yang
tidak diduga oleh Rasmani dan keluarganya adalah ketika Masrul muncul di
kediamannya di Bukittinggi. Semua kejadian diceritakan oleh Masrul yang
membuat Rasmani begitu sedih dengan penderitaan kekasihnya itu. Beberapa waktu
kemudian, Masrul melamar Rasmani. Namun, sebelum mewujudkan pernikahannya, ia
meminta izin untuk mencari pekerjaan terlebih dahulu karena sebelumnya ia telah
mengundurkan diri dari pekerjaannya di Painan. Masrul ingin mencari pekerjaan
di Medan, dengan harapan akan lebih cepat bekerja dengan bantuan adik Engku
Rasad, teman baiknya di Painan. Akan tetapi sampai beberapa bulan lamanya,
Masrul belum juga mendapatkan pekerjaan dan berita keadaan dirinya tak pernah
dikabarkan kepada Rasmani. Hal ini membuat Rasmani berkecil hati dan menganggap
Masrul tidak setia. Rasa putus asa Rasmani bertambah-tambah setelah Masrul
mengatakan dalam suratnya bahwa Rasmani tidak usah menunggunya kalau ada orang
lain mencintainya. Keputusan Masrul itu membuat Rasmani jatuh sakit. Rupanya
sakit Rasmani yang hampir sembuh dengan kedatangan Dalipah, kakaknya
yang selalu mendampinginya dalam kesedihan, kambuh lagi karena dikabarkan bahwa
Masrul berhasil mendapatkan pekerjaan dan membatalkan keputusan yang dulu
disampaikan kepada Rasmani yang tetap akan menikah dengan Rasmani dan meminta
Rasmani agar datang ke Medan. Namun karena sakitnya yang semakin bertambah
membuat Rasmani akhirnya meninggal tanpa disaksikan Masrul yang datang
terlambat.
Unsur Pembangun Karya Sastra
Sebuah karya sastra mempunyai unsur-unsur yang membangun cerita
tersebut, adapun unsur yang dimaksud tersebut adalah unsur dalam (intrinsik)
dan unsur luar (ekstrinsik). Berikut ini akan dibahas secara singkat mengenai
unsur-unsur pembangun dalam karya sastra.
1)
Unsur Ekstrinsik
Unsur
ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara
tidak langsung mempengaruhi bangunan sistem organisme karya satra. Atau, secara
lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangunan
cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di
dalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap
totalitas bangunan cerita yang dihasilkan.
Ada beberapa unsur ekstrinsik di luar dari karya
itu sendiri, unsur yang dimaksud antara lain biografi pengarang, buah pikiran
pengarang, serta latar sosial-budaya yang dapat mendukung kehadiran karya
sastra. Ini berarti menunjukan bahwa karya sastra lahir tanpa adanya kekosongan
budaya.
2)
Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik
adalah unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra itu sendiri. Unsure-unsur
inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra imajinasi
seorang pengarang. Unsur-unsur secara faktual akan dijumpai jika orang membaca
karya sastra. Unsur intrinsic sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara
langsung) turut serta membangun cerita paduan antar berbagai unsur intrinsik
inilah yang membuat sebuah novel terwujud. Unsure intrinsic tersebut adalah
tema, tokoh dan penokohan, alur, sudut pandang, latar (setting), gaya bahasa,
serta amanat.[1]
a.
Tema
Tema menurut
Stanton dan Kenny yang dikutip dalam buku Teori Pengkajian Fiksi, Burhan
Nurgiantoro adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun ada banyak
makna yang dikandung dalam sebuah novel, maka haruslah ditentukan makna khusus
mana yang menjadi ide dari cerita tersebut.
Tema utama
dalam novel Kalau Tak Untung adalah kasih tak sampai. Dalam novel ini tidak
hanya tema tersebut yang merangkai cerita. Adapun kasih tak sampai yang dialami
tokoh Masrul dan Rasmani karena persoalan adat dan budaya. Seperti pda kutipan
berikut:
“Saya suka kepada anak itu, tetapi tak suka saya ia menjadi istrimu.
Benar ia anak datuk dan kemenakan juga dari bapakmu, tapi tak patut engkau naik
ke rumah itu. Tak seperti itu rumah tempat dudukmu. Lagi pula Ramani tak tahu
sebuah juga, manja tak berketentuan. Semua orang mengatakan mereka tak tahu
diuntung. Saya suka pada mereka karena baikbudiya dan pandai membawakan diri.
Orang tua Rasmani tentu tak lupa memikat-mikat kamu, supaya mau jadi menantunya
dan engkau tentu buta dan pekak karena mulut manis orang.” (hlm. 31 cetakan kedua puluh tiga,
2001)
Adapun ibu
Masrul tidak menyetujui percintaan mereka berdua, karena anggapan orang minang
yang layak untuk dijadikan istri hanyalah perempuan yang pandai mengurus rumah
tangga, tidak seperti Rasmani yang tekenal manja kepada orang tuanya.
Namun, ada juga
tema sampingan yang merangkai seperti tema
pendidikan, sosial, moral, pengorbanan, adat istiadat, kesetiaan.
b.
Tokoh dan Penokohan
Berbicara masalah tokoh dan penokohan ini merupakan salah satu hal
yang penting kehadirannya dalam sebuah karya sastra dan bahkan
sangat menentukan, karena tidak akan mungkin ada suatu karya sastra tanpa
adanya tokoh yang diceritakan. Penokohan adalah proses penampilan tokoh dengan
pemberian watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita.[2]
Adapun tokoh yang terdapat didalam novel kalau tak untung, yaitu:
1)
Masrul adalah tokoh yang dimulai dengan perwatakan yang baik, namun
ditengah perjalanan kehidupannya banyak cobaan yang ia alami. Kebimbangan dalam
hal cinta menjadi salah satu cobaan berat baginya.
Memiliki watak
perhatian, terlihat pada kutipan:
“Ketika Masrul melihat badju rasmani telah basah, berkatalah ia : ‘’
Etek biarlah Rasmani berdjalan dengan saja pulanglah etek ! Rasmani,
buangkanlah daun pisangmu!” (hlm. 17)
Memiliki watak
sabar kepada orang tuanya, terlihat pada kutipan:
“Panas besar hati Masrul mendengar tuduhan ibunja itu. Kalau tidak
ibunja jang mengatakan itu, tentu akan dibalasnja dengan jang sepatutnya.
Tetapi sekarang ia berhadapan dengan ibu kandungnja, sebab itu marahja harus
ditahannja.
“Tak baik ibu
salah sangka seperti itu. Sampai sekarang belum teringat dihati saja akan
memulangi Rasmani. Saja sajang kepadanja, tak ubahnja sebagai adik kandung.
Bukankah ibu tahu djuga bahasa telah lebih dari lima tahun kami bersahabat…” (hlm.40-41)
Memiliki watak
mengingkari janji, terlihat pada kutipan:
“Ajahanda bunda mempertunangkan
anakanda dengan Aminah anak mamak tua dan anakanda telah berdjanji akan menurut
kehendak ajahanda bunda itu. Tetapi rupanja setelah anakanda pikir pandjang
lebar dan anakanda menung-menungkan dalam dua tahun tak dapat rasanja anakanda
menepati djandji anakanda itu. Banjak benar alangannja pada anakanda…”(hlm.110)
Memiliki watak tidak memiliki pendirian, terlihat pada kutipan:
“Dengan hal jang
demikian Masrul jang tadinya telah tetap pendiriannja, hatinja mulai berkatjau
lagi. Muka Muslinah, bintang timur itu selalu terbajang-bajang dimatanja.
Mula-mula dilawannja sekuat-kuatnja, tetapi ia kemudian kalahlah ia dalam
peperangan itu… (hal.106)
“bodoh benar aku tak menghargakan kurnia tuhan, tak memungut durian
runtuh,” pikir Masrul dalam hatinja.”(hlm.107)
Memiliki watak kasar dan melanggar perintah agama, terlihat dalam
kutipan:
“Dengan hati yang panas dan kesal
hati yang tak terahan-tahan, dihelakannjalah alas medja itu sehingga semua jang
diatasnja djatuh kelantai dan hantjur luluh... (hlm.137)
“Sekarang ia akan tinggal, sekampung
pula dengan engku guru Rasad, seorang jang hidup bersih, jang selalu menurut
perintah Allah.
Dan ia? Tahukah ia sekarang dimana masjid, tahukah ia dimana surau,
apabilakah padanja waktu magrib, waktu isja dan lain-lain?
“Ja, Allah,” katanja, “patutkah saja menjebut nama-Mu? Saja jang tak pernah lagi
menurut perintahMu?” (hlm.136)
2)
Rasmani adalah sahabat, saudara, serta menjadi kekasih Masrul. Ia
adalah tokoh yang memiliki sifat manja
kepada orang tuanya, manja dalam hal
hati dan badan sehingga hatinya selalu terjaga agar tidak mudah tersinggung,
dan sabar serta setia menjalani hidupnya
Memiliki watak
Penurut kepada kedua orang tuanya, terlihat pada kutipan:
“Djangan duduk lagi, ambil sabun dan basahan, pergilah kesungai,
sebentar ibu datang.” Perintah ini pun dengan segera diturut
oleh Rasmani. Diambilnja sekalian jang disuruhkan ibunja itu dan berjalanlah ia
kesebelah batang air, tiada berapa djauh dari rumahja.(hlm.7)
Memiliki watak penyabar, terlihat pada kutipan:
“Lagi pula bukankah dibuatja itu
tidak untuk aminah, melainkan untuk masrul, untuk bahagia masrul? Bukankah ia
tak suka masrul akan hidup tak beruntung? “Baik kakanda,” katanja dalam hatinja, “adinda akan mengeluarkan
segala tenaga adinda, agar tuan mendapat bahagia dalam hidupmu. Adinda tak akan
membalas dendam; adinda akan memperlihatkan siapa adinda jang selalu disjaki
ditjemburui, dihina, ditjemoohkan.” (hlm.65)
3)
Ibu Rasmani (Etek Djaura) adalah tokoh yang peduli kepada
pendidikan anaknya dan peduli terhadap perasaan anak-anaknya.
Memiliki watak pengasih dan penyayang kepada anaknya, seperti pada
kutipan:
“Dengan muka yang djernih dan tenang
ditjempungkan ibunya Rasmani kedalam air, disabunnja seluruh tubuh anaknja itu
dan digosoknja dengan hati-hati...”(hlm.7)
4)
Ayah Rasmani (Datuk Sinaro) adalah tokoh yang peduli kepada
pendidikan anaknya dan peduli terhadap perasaan anak-anaknya.
Memiliki watak pengasih dan penyayang kepada anaknya, seperti pada
kutipan:
“Kemarin ketika saja mendjemput
Rasmani dari sekolah mengadji, hampir sampai kelutut tinggi air didjalan raja.
Iba hati saja melihat anak itu, tiap hari sadja ia berhudjan-hudjan. Akan
disuruh tempo beladjar tak mungkin, pertama ia akan ketinggalan dari kawannja, baik disekolah
pagi ataupun disekolah mengadji; kedua tentu kita mengadjar ia malas. Saja
takut kalau-kalau anak kesehatan badanja terganggu, karena selalu
berdingin-dingin…”(hlm.10)
5)
Dalipah adalah kakak kandung rasmani yang menyayangi adiknya serta
pandai menghibur hati adiknya di saat adiknya sedang bersedih.
Memiliki watak penyayang kepada adiknya, terlihat pada kutipan:
“Dengan hati-hati disisirnja rambut
adiknja itu, didjalinnja baik-baik dan diikatja dengan pertja kain tadi. Sudah
itu pergilah dalipah ke dapur, diambilnja nasi sedikit dan diberikannja kepada
adiknja itu.”(hlm.8)
6)
Ibu Masrul adalah orang tua yang sangat egois untuk kebaikan
anaknya
Memiliki watak egois. Terlihat pada kutipan:
“O, sekarang
engkau telah besar, tahu engkau dipenat akan menurut rumah mamakmu. Dahulu
ketika ketjil, ketika akan meminta kain sarung atau badju djas, rumah-rumah itu
tidak djauh, tak pernah bengkak kakimu berdjalan pergi kesitu. Ia pula,
orangsekarang sudah mendjadi engku djurutulis tak pandai berjalan lagi,”kata
ibu masrul yang memperlihatkan kesal hatinja.” (hlm 39)
7)
Muslina adalah istri masrul yang kemudian diceraikannya karena,
keras kepala dan suka merendahkan suaminya sendiri karena gaji yang didapatkan
suaminya lebih sedikit dari pada kekayaan yang dimiliki orang tua Muslina. Ia
berparas cantik bagai bintang timur dan anak dari orang tua yang kaya yaitu
engku guru gendang.
Memiliki watak keras kepala dan suka meremehkan suaminya, terlihat
pada kutipan:
“Apakah jang
telah kau perbuat? Mengapa kau
petjahkan piring-piring itu? Bukankah tak belianmu itu? Barang jang kita beli jang akan dipetjah-petjah, tetapi djangan
harta orang lain. tak sebesar miang, sebesar rambut dibelah tudjuh barang
pembelianmu dirumah ini, smeuanja pembelian bapa saja. Untuk pengisi perut sadja tak tjukup
gadjimu. Pembeli biermu dan penjewa komidi gambarmu telah habis. Lali-laki jang
tak berperasaan! Anak isterinja
ditinggalkannja, ia mentjari pelesiran diluar rumah,sepandjang djalan raja. Tak
tahu berterima kasih. Harta orang dihabiskan. Sudah litjin semuanja!” (hlm.138)
8)
Engku Guru Rasad adalah orang yang baik hati, peramah dan amat
tajam pemikirannya. Berbudi dan disegani oleh kawan-kawannya. Engku guru rasad
jugalah yang menolong kehidupan rumah tangga masrul dengan muslin.
Memiliki watak yang baik, yang diceritakan oleh tokoh utama dalam
sebuah percakapan, terlihat pada kutipan:
“Dalam pada itu
abang mendapat seorang sahabat jang sebenarnja tulus dan ichlas. Ia guru kepala
di Padang, naik dari guru bantu dari paian. Engku Muhammad rasad mentjoba
member nasihat isteri abang, dan mendekatkan diri kepada abang, sehingga
berkuranglah buruknja kehidupan abang...” (hlm.179)
9)
Mak Sawi’ah dan Engku Djaksa adalah seorang pemilik tempat tinggal
masrul ketika berada di Painan, ia adalah orang yang menganggap masrul seperti
anaknya sendiri.
Memiliki watak yang baik, terlihat pada kutipan:
“Hendak kemana engku Masrul? Minumlah dahulu, air teh telah saja sediakan diruang tengah!”(hlm.73)
“… Pada kami ia telah serasa anak pula, karena pandainja mengambil
hati, apa lagi kami tak ada beranak laki-laki. Tak ada orang jang demikian
lakunya kepada kami, meskipun telah banjak kami membesarkan anak orang...”(hlm.84)
10)
Orang tua (nenek) adalah
pemilik sebuah pondok yang tempat singgah Mani ketika kehujanan saat
ingn pergi ke sekolah. Nenek ini memiliki punggung yang bungkuk, mata dan gigi
yang masih baik dan juga gigi dan suaranya. Selain itu nenek ini memiliki
pondok yang tidak pernah sepi dengan pasien yang meminta obat dan yang menuntut
ilmu kepadanya.
Memiliki watak
yang baik, terlihat pada kutipan:
“Makanlah ini akan obat-obat dingin,
meskipun barangkali bukan makanan guru sekolah,”katanya sambil berolok-olok...” (hlm.121)
11)
Engku Guru Gedang dan istrinya adalah orang yang memasukan
perangkap untuk masrul, dengan memancing dan memikatnya dengan harta yang
tujuannya agar Masrul menikahi puterinya.
Memiliki watak
licik, terlihat pada kutipan:
“Ah engku tak tahu. Engku itu
betul-betul telah masuk perangkap. Engku guru gedang dan isterinja orang jang
manis mulut benar. Dengan mudah ia mendjalankan taktiknya, sehingga seorang ken
djeratnja. Engku Masul dirapatinja dan pikat-pikatnja. Ketika engku itu masih
baru, ketika ia belum bersahabat dan menghargai sekalian kebaikan dan
persahabatan jang diundjukkan oleh berkelilingnja dan ketika belum ada orang
jang dapat memberi nasihat jang baik kepadanja…”(hlm.127)
12)
Engku Opziere adalah penilik sekolah yang menolong Masrul supaya
rasmani dapat menjadi guru yang dicita-citakan.
Memiliki watak
baik, terlihat pada kutipan:
“Biarlah saja usahakan supaja lekas
ia dapat pekerdjaan,”kata engku opziere itu memutuskan perkataan masrul.” (hlm.45)
c.
Alur
Alur adalah
struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi
fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan
fiksi.[3]
Alur dibangun oleh beberapa unsur, yaitu perkenalan, pertikaian, perumitan,
klimaks, peleraian akhir. Unsur-unsur alu tidak selalu berurutan, tetapi ada
yang dari tengah terlebih dahulu, lalu ke peristiwa awal, kemudian akhir.
Adapula yang dari akhir terus menuju ke tengah kemudian sampai ke awal.[4]
Alur yang digunakan dalam novel Kalau Tak Untung karya Selasih ini
menggunakan alur maju. Karena jika kita simak peristiwa dalam novel ini
bergerak maju secara bertahap berdasarkan urutan kronologis.
“Dalam novel tersebut, di awali dengan kisah hidup seorang gadis kecil
bernama Rasmani yang hidup di sebuah rumah kecil bersama kedua orang tua, adik
dan kakaknya. Iya bersahabat dengan Masrul yang sudah seperti kakak sendiri
baginya, begitu pula Masrul yang sayang kepada Rasmani selaku adiknya. Namun,
semakin besar ternyata perasaan sayang Rasmani kepada Masrul tidak hanya
perasaan sayang adik terhadap kakak saja namun berubah menjadi kasih sayang
seorang perempuan terhadap lelaki seutuhnya. Sebenarnya begitu pula perasaan
Masrul, yang mengagumi kecakapan Rasmani sehingga sayang pula ia kepada
Rasmani.
Masul dihadapkan pada posisi bahwa ia harus pergi ke Painan untuk
mengerjakan pekerjaannya sebagai juru tulis. Dengan berat hati ia harus
berpisah dengan Rasmani serta kaum keluarga Rasmani yang sudah dianggapnya
sebagai keluarga kandungnya sendiri. Namun, sebelum kepergiannya ke Painan
Masrul di jodohkan dengan Aminah anak mamaknya. Dengan terpaksa Masrul menuruti
permintaan ibu serta kaum keluarganya yang akan diperjodohkan dengan Aminah
setelah dua tahun Masrul merantau di Painan.
Di Painan, Masrul jatuh cinta pada seorang gadis bernama Muslina
karena kecantikan dan kekayaan orang tua Muslina. Meskipun Masrul sendiri ragu
dengan pilihan yang akan diambilnya namun, pada akhirnya ia memilih menikahi
Muslina dan memutuskan pertunangannya dengan Aminah serta mulai melupakan rasa
kasihnya terhadap Rasmani. Pernikahan Masrul dan Muslina tidak berjalan baik
sehingga timbul percekcokan yang membuat mereka akhirnya bercerai. Masrul
menyesali atas pilihan yang telah diambilnya sehingga memutuskan pulang ke
kampungnya dan menemui serta meminta Rasmani untuk menikah dengannya. Namun, ia
harus mencari kerja dulu di Medan, berbagai masalah pun timbul semenjak
kepergiaannya ke Medan yang menjadikan Rasmani jatuh sakit, yang semakin lama
kian parah sampai akhirnya penyakitnya tidak tertolong yang mengakibatkan
berujung kematian sebelum keduanya berhasil menikah.”
Setelah merunuti kronologis cerita yang memiliki alur maju
tersebut, akan semakin jelas jika tahapan-tahapan alur dalam novel tersebut
kembali diuraikan dengan lima tahapan alur. Berikut ringkasannya:
1)
Tahap Pengenalan
Dalam novel ini penulis mengawali ceritanya dengan menggambarkan
kehidupan seorang gadis bernama Rasmani dengan keluarganya, serta pergaulannya
dengan sahabat karibnya Masrul. Persahabatan mereka pun sangat erat sehingga
Masrul dan keluarga Rasmani pun sudah seperti kerabat. Persahabatan mereka pun
terjalin hingga keduanya dewasa.
2)
Tahap Pemunculan Konflik
Masrul diharuskan pergi ke Painan untuk bekerja sehingga membuatnya
sedih karena harus meninggalkan kaum keluarganya terutama Rasmani. Begitu pula
Rasmani yang turut sedih atas kepergian Masrul. Sebelum pergi Masrul telah
dijodohkan dengan Aminah anak mamaknya dan akan berlangsung setelah dua tahun
Masrul di Painan. Masrul menghendaki memiliki Istri yang cakap sehingga ia
meminta Rasmani untuk mengajari Aminah berbagai kecakapan.
3)
Tahap Peningkatan Konflik
Di Painan Masrul diminta untuk menikahi putri dari Engku Guru
Gedang yaitu Muslina. Sehingga, pikirannya bimbang hendak memilih siapa.
Sedangkan ia telah di jodohkan dengan Aminah dan ia pula mencintai Rasmani.
Namun, akhirnya pilihan jatuh terhadap Muslina. Keputusannya itu membuat
seluruh kaum kerabatnya kecewa dan marah, Rasmani pun menjadi kecewa.
4)
Tahap Klimaks
Pernikahannya ternyata tidaklah membahagiakan, sering kali terjadi
percekcokan yang disebabkan kurang menghargainya Muslina sebagai istri terhadap
Masrul, Masrul pun jarang pulang bahkan terkadang minum bir. Percekcokan
semakin parah sehingga berakhir perceraian. Usai perceraian Masrul menyadari
kesalahannya sehingga ia hendak kembali kepada Rasmani dan meminta menikah
dengannya. Namun setelah kepergiannya mencari kerja di Medan membawa kabar
buruk yang terus membuat Rasmani jatuh sakit akibat isi surat Masrul yang
awalnya mengatakan bahwa ia telah rela melepaskan Rasmani untuk orang lain.
Namun, pada surat berikutnya menyatakan bahwa Masrul telah mendapat kerja dan
ingin segera bertemu dan menikah. Hal tersebut menjadikan penyakit Rasmani
semakin memburuk dan akhirnya meninggal dunia
5)
Tahap Penyelesaian
Masrul pulang ke ke tanah kelahirannya untuk menemui Rasmani dengan
harapan masih bisa hidup bahagia bersamanya. Namun, pada kenyataannya Masrul
terlambat karena Rasmani telah meninggal sehari sebelum ia berhasil menemuinya.
Masrul menyesal dan menyadari apa yang telah menimpanya adalah hukuman atas
kesalahannya. Sehingga Rasmani meninggal tanpa merasakan kebahagiaan.
d.
Latar
Menurut Abrams
latar atau setting yang disebut juga sebagai tumpu, menyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya
persitiwa-peristiwa yang diceritakan.
1)
Latar Tempat
Adapun setiap
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel Kalau Tak Untung karya selasih terjadi dibeberpa tempat.
di Painan, tempat masrul merantau untuk sebuah pekerjaan. Seperti pada
kutipan berikut:
“Painan
masih di daerah kita djua. Itulah adat kita laki-laki,
berdjalan meninggalkan kampong halaman
membawa peruntungan...” (hlm.28)
Di kota padang, Djati. tempat masrul dan muslina tinggal setelah
mereka menikah. Sperti pada kutipan berikut :
“Hari
telah pukul tengah sebelas malam . kota padang jang tadinja hiruk-pikuk telah
mulai hening.”(Hlm.132)
“...Di
djati engku, datanglah engku sekali-kali kerumah kami...”(hlm.133)
Di Bondjol, kampung halaman masrul. Masrul memutuskan kembali ke
Bondjol sesudah ia menceraikan Muslina.
“Beberapa
hari sesduah masrul sampai di Bondjol dibuatnja surat untuk Rasmani,
mentjeritakan pertemuanja dengan ibunja...” (hlm.182)
Di kota medan, tempat masrul hendak mencari pekerjaan
“Mani,
djika baik untung abang, djika takdirnja abang dapat pekerdjaan jang sesuai
dengan abanng, maukah engkau menurutkan abang ke Medan?” (hlm.186)
2)
Latar Waktu
Latar waktu dalam novel Kalau
Tak Untung yaitu pada pagi hari, petang dan malam digambarkan secara jelas.
Seperti:
“Suaminja
tak pernah menjesalinja karena kemiskinanja, melainkan serta membanting tulang
dari pagi sampai petang, mentjari nafkah untuk mereka anak beranak.”
(hlm.13)
“Perkara
jang saja katan malam kemarin itu. Kalau mamakmu menanja pikiranmu, katakana
engkau berpikir dahulu, djangan mengeras-ngeras sadja seperti berkata dengan
Ibu dahulu.” (hlm. 39)
3)
Latar Sosial dan Budaya
Beberapa
kutipan yang terdapat dalam novel Kalau
Tak Untung secara jelas menggabarkan kondisi sosial dan budaya masyarakat
pada waktu itu. Seperti kutipan berikut ini:
“Itulah kesalahan jang banjak benar
terdapat di kampung ini, masrul, anak laki-laki jang berumurdelapan atau
Sembilan belas tahun telah wadjib dikawinkan; anak perempuan berumur empat
belas tahun sadja telah besar benar.” (hlm.31)
“Bagi kita di kampung ini bukan orang
jang pandai menulis membatja sadja, dikatakan masak adjar dan disukai orang;
melainkan anak jang pandai ke sawah dan ke lading, sigap mengerdjakan tumbuk
dan tanak, tahu bekerdja dalam rumah, tahu dibasa-basi tjara kampung, tahu
membawakan diri setjara zanak perempuan, disebut masak adjar pula.”
(hlm.35)
e.
Sudut Pandang
Sudut pandang
merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton digunakan sebagai sarana
cerita, Literary Device. Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan siapa
yang menceritakan atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu
dilihat.[5]
Sudut pandang yang digunakan pada
novel ini adalah sudut pandang orang ketiga. Karena pengarang menampilkan tokoh
dengan menggunakan orang ketiga, seperti ia, dia, atau nama orang.
“Setiba di rumah, Masrul pergi sekali ke biliknya, direbahkannya
badannya dan dibukanya surat Rasmani lambat-lambat. Amat sukar ia membacanya,
karena tulisan surat itu tak jelas dan kepalanya pusing, kesedihan meliputi
jiwa hati dan jantungnya.” (hlm 155 cetakan kedua puluh tiga 2001)
f.
Gaya Bahasa
Setiap prang
yang menggubah teks dihadapkan pada cara menggunakan bahasa, yaitu memilih
kata, merangkaikan kata menjadi kalimat, menggabungkan kalimat menjadi teks.
Penggunaan kata pada teks bergantung pada pokok dan tujuan teks yang
bersangkutan.[6]
gaya bahasa yang digunakan novel ini
adalah bahasa Melayu Minang, juga
beberapa istilah dari bahasa Asing. Dan ada pula beberapa kalimat yang
bermajas.
1)
Bahasa Asing
“Engku, bukan tentang saya, melainkan hal Rasmani. Barangkali masih
ingat Engku akan anak perempuan yang maju pada eksamen kweekeling enam bulan
yang lalu.” (Halaman 33 cetakan kedua puluh tiga 2001)
“Kalau engkau berpikir sedikit, tentu engkau tak akan mengeluarkan perkataan seperti itu. Di mana saya dapat main, kalau tak pernah beruang sesen juga dalam saku? Yang saya belikan ke minuman sekali-sekali dan saya sewakan ke komidi gambar itu, bukankah uang rokok yang engkau berikan tiap-tiap hari dan biarlah saya mengaku sekarang, memang ada juga saya ambil uang Overwerk saya sedikit-sedikit.” (hlm 103 cetakan kedua puluh tiga 2001)
2)
Bahasa Melayu Minang
“Etek, janganlah etek menyebut ini-itu.”
(hlm 40 cetakan kedua puluh tiga 2001)
3)
Majas Hiperbola adalah majas perbandingan yang melukiskan sesuatu
dengan mengganti peristiwa atau tindakan sesungguhnya dengan kata-kata yang
lebih hebat pengertiannya untuk menyangatkan arti.
“Muka Muslina, bintang timur Painan itu selalu terbayang-bayang di
matanya.” (hlm
79 cetakan kedua puluh tiga 2001)
“Suaminya tak pernah menyesalinya karena kemiskinannya, melaikan
serta membanting tulang dari pagi sampai petang.” (hlm 13
cetakan kedua puluh tiga 2001)
4)
Majas Antitesis adalah majas pertentangan yang melukiskan sesuatu
dengan mempergunakan kepaduan kata yang berlawanan arti.
“Istri ialah kawan hidup yang akan dippercermin suaminya pagi dan
petang, siang-malam.” (hlm 74 cetakan kedua puluh tiga 2001)
5)
Majas Asosiasi atau Simile adalah majas perbandingan yang
memperbandingkan sesuatu dengan keadaan lain karena adanya persamaan sifat.
Seperti bak, umpama, laksana, ibarat, sebagai.
“Mengapakah ia kemari? Tepokah ia? Karena sakit? Alangkah kurusnya!
Pucat sebagai mayat.” (hlm 128 cetakan kedua puluh tiga 2001)
“Kami ini ibarat kembang, Bagus
dipakai, layu dibuang.” (hlm 120 cetakan kedua puluh tiga 2001)
6)
Majas Repetisi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu
dengan mengulang kata atau beberapa kata berkali-kali.
“…ah di mana gerangan penjaraku…, di
rumah ibuku … di mana … di mana … di mana … Dik?” (hlm 156
cetakan kedua puluh tiga 2001)
g.
Amanat
Amanat adalah
suatu pesan yang disampain oleh pengarang lewat karyanya kepada para pembaca.[7]
Amanat yang dapat diambil setelah membaca novel ini yaitu,
1. jangan mudah menyepelekan janji karena janji
akan membawa kita ke dalam tanggung jawab yang besar,
2. jangan membantah perkataan orang tua kita
karena orangtualah yang mengerti akan
kebaikan untuk anaknya,
3. jangan memberikan harapan kepada seseorang
yang sudah jelas menyayangi kita, karena orang tersebutlah yang sudah berjasa
dalam menghibur hati kita yang ketika mengalami kesusahan dan kesenangan,
4. jangan melupakan kewajiban terhadap tuhan,
karena hanya kepada tuhanlah kita dapat memohon pertolongan dan mendapatkan
petunjuknya melalui do’a.
5. jangan membuat suatu keputusan tanpa
memikirkan dampak buruk keputusan itu.
[1] Burhan Nurgiyantoro,
Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. Gajah Mada University, 2013. Hlm 22.
[2] Ibid, hlm 83.
[3] Ibid, hlm 183.
[4] Widjoko dan Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung.
UPI Press, 2006. Hlm 46-47.
[6] Luxemburg, jan van, dkk. Tentang Sastra. Jakarta.
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan, 1989. Hlm 59.
[7] Abdul Rojak Zaidan. Kamus Istilah Sastra. jakarta. Balai
Pustaka, 2007. Hlm27.